Bashar Assad
Scott Lucas, University of Birmingham
Di antara mereka yang melihat konflik Suriah selama tujuh tahun, pernyataan sederhana tapi menyesatkan beredar: “Assad menang”. Namun rezim Assad bertahan hanya karena dukungan politik, ekonomi, dan militer dari Rusia, Iran, dan Hizbullah. Sekarang sepenuhnya tergantung pada mereka.
Dan Assad hanya menguasai sebagian dari Suriah. Kelompok oposisi, meski sangat bergantung pada perlindungan Turki, menguasai sebagian besar wilayah barat laut, dan mereka juga—untuk saat ini—mengendalikan wilayah di selatan sepanjang perbatasan Yordania. Kelompok-kelompok Kurdi telah mengambil sebagian besar wilayah utara dan timur Suriah setelah menekan balik yang disebut Negara Islam (IS) atau ISIS.
Bahkan di dalam wilayah-wilayah yang telah direbutnya, kekuasaan rezim pemerintah Assad lemah. Rezim harus berhadapan dengan banyak warga sipil yang tidak mendukung pemerintahannya, dan selalu ada kemungkinan pemberontakan. Di negara yang kehilangan 75% dari PDB, “rekonstruksi” adalah, untuk saat ini, mimpi di siang bolong. Pendukung Assad tidak mempunyai sumber daya selain untuk pemulihan paling dasar, dan pendukung-pendukung Asad sudah mulai mencari bagian mereka dari yang tersisa dari ekonomi Suriah.
Dengan militernya yang didukung Rusia dan Iran, polisi dan penjara rahasianya, dan saluran propagandanya, Assad akan tetap menjadi presiden. Tapi presiden sebuah negara yang telah kehilangan lebih dari 500.000 karena pembunuhan, setidaknya 11 juta orang mengungsi, dan lebih banyak lagi dengan hati dan pikiran yang terluka.
Amerika Serikat
Natasha Ezrow, University of Essex
Pendekatan Amerika Serikat ke Suriah membingungkan dan tidak menentu. Sepanjang kampanyenya dan memasuki tahun pertamanya di kantor kepresidenan, Donald Trump mengklaim bahwa dia “berkomitmen” untuk mengalahkan ISIS, yang masih memiliki kehadiran kecil di Suriah pada saat itu. Secara simultan, pemerintahannya berjanji untuk menarik diri dari Suriah, dan Trump mengkritik pendahulunya yang mengambil tindakan militer sebelumnya.
Sementara Trump memerintahkan serangan terbatas di Suriah pada April 2017 dan mengungkapkan bahwa total 2.000 tentara sebenarnya di lapangan, pemerintah secara keseluruhan tidak mempertahankan kehadiran yang kuat di Suriah. Kontradiksi ini terus berlanjut sejak itu: hanya beberapa minggu yang lalu, dilaporkan bahwa Pentagon memiliki rencana untuk menambah jumlah pasukan—tapi Trump segera secara terbuka menyatakan bahwa pasukan AS akan kembali pulang “segera”, membuat militer bingung.
Setelah serangan terbaru, yang diyakini merupakan serangan kimia terhadap warga sipil, oleh rezim Assad (meski Rusia menyalahkan oposisi atas serangan itu), Trump beraksi lagi dan menghukum Rusia secara terbuka. Trump pertama mengklaim bahwa AS akan mengirim lebih banyak rudal, mengejek Rusia dengan serangkaian cuitan, sebelum meratapi bahwa hubungan antara AS dan Rusia berada di titik terendah. Dan sekarang, serangkaian serangan rudal terbatas yang bekerja sama dengan sekutu AS telah menargetkan lokasi yang diduga menjadi tempat produksi dan penyimpanan senjata kimia.
Secara keseluruhan, tidak jelas ke arah mana AS akan mengambil langkah selanjutnya. Dan bahkan ketika militer tampaknya ingin memperluas perannya, preferensi Trump masih tidak dapat diprediksi.
Rusia
Moritz Pieper, University of Salford
Bagaimana Rusia memandang Suriah adalah hal yang penting untuk dipahami. Di Dewan Keamanan PBB, Rusia secara konsisten memveto resolusi yang dapat mengulangi intervensi terhadap Libya pada 2011, ketika zona larangan terbang secara bebas ditafsirkan untuk membenarkan perubahan rezim.
Rusia melindungi Assad bukan karena hubungan ekonomi atau militer yang signifikan, tapi karena dua alasan spesifik lainnya. Pertama, bagi Rusia struktur pemerintahan Suriah yang kuat adalah benteng melawan alternatif Islamis radikal. Tapi pada tingkat lain, intervensi militer Rusia telah menjadikannya sebagai lawan bicara geopolitik yang tak terhindarkan bagi seluruh dunia.
Sejak September 2015, nasib Assad semakin terikat lebih dekat dengan perencanaan kebijakan Rusia, dan telah memaksa Barat untuk berbicara dengan Rusia sebagai “Kekuatan Besar”, yang dianggap sebagai pembentuk aturan politik internasional seperti AS.
Iran
Edward Wastnidge, The Open University
Pada pandangan pertama, Iran dan Suriah membuat persahabatan yang aneh. Iran mungkin adalah teokrasi terkemuka di dunia, dan Suriah adalah negara Arab-nasionalis sekuler - namun aliansi mereka adalah salah satu yang paling bertahan di Timur Tengah. Keduanya berbagi pandangan strategis tentang isu-isu regional utama, tidak terkecuali penderitaan rakyat Palestina. Bersama dengan Hizbullah di Lebanon, Iran dan Suriah membentuk “Axis of Resistance” yang dimaksudkan untuk melawan Israel dan tujuan Barat di Timur Tengah.
Suriah secara historis bertindak sebagai kanal utama bagi dukungan Iran kepada Hizbullah yang melawan Israel dari negara tetangga Lebanon. Pada gilirannya ini berarti Iran sangat membutuhkan pemerintahan yang ramah di Damaskus untuk menjaga kekuatan strategisnya di wilayah tersebut. Selama perang sipil Suriah, dengan dukungan Iran, Hizbullah telah bekerja berdampingan dengan pasukan Iran sebagai sekutu penting Assad. Dan bersama pasukan mereka, Iran telah membantu mengumpulkan pejuang sukarelawan dari seluruh dunia Syiah untuk bergabung dalam pertempuran ini, awalnya sebagai pembela kuil-kuil suci Syiah.
Iran telah bekerja sama dengan Rusia dan Turki untuk membangun zona de-eskalasi di Suriah, tapi serangan udara Israel baru-baru ini dan ancaman-ancaman tindakan Barat terhadap Assad membawa pada bentrokan langsung yang sangat nyata—dengan Iran, Hizbullah, Suriah dan Rusia pada satu sisi, dan kekuatan Barat dan Israel di sisi lain.
Turki
Alpaslan Ozerdem, Coventry University
Pada akhir pertemuan tingkat tinggi Suriah pada 4 April, para pemimpin Turki, Suriah, dan Iran menunjukkan persatuan—tapi hal itu agak menyesatkan. Tiga negara ini masih terbelah dalam perang Suriah, dan perdamaian seperti apa yang mereka inginkan.
Hal ini terutama terlihat ketika Presiden Iran, Hassan Rouhani, mengatakan Distrik Afrin, yang direbut oleh Turki dan Syrian Free Army dari pasukan Kurdi, harus diserahkan kembali kepada rezim Assad. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov memiliki pandangan yang sama—terlepas dari fakta bahwa operasi untuk mengambil Afrin, Operasi Olive Branch, hanya bisa dilakukan dengan lampu hijau Rusia.
Disonansi ini menunjukkan posisi genting Turki dalam konflik Suriah, yang ditentukan oleh hubungannya dengan Iran dan Rusia. Dan sementara Donald Trump tampaknya mengubah pikirannya di Suriah setiap hari, jika ia kembali ke niatnya baru-baru untuk menarik sebagian besar pasukan AS segera, itu bisa membuat pengaruh Turki terhadap kedua negara ini bahkan semakin lemah.
Selama Iran dan Rusia berusaha mengamankan kepentingan geopolitik mereka di Suriah, posisi Turki akan tetap sangat tidak nyaman. Sama seperti hubungannya dengan AS atas Suriah sangat tegang hari ini, Turki menyadari bahwa jabat tangan hangat dari Iran dan Rusia tidak selalu berarti persekutuan yang langgeng.
Kurdi
Cengiz Gunes, The Open University
Aksi baru yang dipimpin AS terhadap Assad mungkin dapat menguntungkan atau merugikan Kurdi Suriah—tetapi dengan strategi jangka panjang AS yang sangat tidak jelas, sulit untuk memberikan sebuah ramalan.
Federasi Demokratik Suriah Utara (DFNS)yang multi-etnis dan semi-otonom sejauh ini telah mendapatkan dukungan militer dan diplomatik dari koalisi pimpinan AS, dan dukungan itu akan banyak menentukan masa depan Kurdi di Suriah. Bahkan ketika proses perdamaian Astana yang dipimpin oleh Rusia memiliki potensi untuk menyingkirkan orang-orang Kurdi sama sekali, satu intervensi tegas yang dipimpin AS dapat berpotensi melemahkan rezim Assad ke titik di mana ia merasa lebih cenderung untuk bernegosiasi. Ini juga berarti Kurdi bisa mengandalkan pengaruh AS dan Prancis untuk mengamankan kesepakatan yang lebih baik untuk DFNS.
Copypaste
Lupa sumbernya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar