Eramuslim

Sabtu, 21 Juli 2018

Hukum bagi muslim yang meninggalkan shalat fardhu dan shalat jum'at

Nur s:

تكفير العلماء على الشخص من تكفير الرسول
[PENGKAFIRANYA ULAMA ATAS SESEORANG ITU BERDASARKAN PENGKAFIRANYA RASUL]
فقد اتفق العلماء على كفر من ترك الصلاة جحودا لها.
Ulama sepakat atas kufurnya orang yang benar-benar rela dan senang meninggalkan shalat.
واختلفوا فيمن أقر بوجوبها ثم تركها تكاسلا. فذهب أبو حنيفة رحمه الله إلى أنه لا يكفر، وأنه يحبس حتى يصلي. وذهب مالك والشافعي رحمهما الله إلى أنه لا يكفر ولكن يقتل حدا ما لم يصل. والمشهور من مذهب الإمام أحمد رحمه الله أنه يكفر ويقتل ردة،
Ulama berbeda pendapat pada orang yang mengakui kewajiban shalat namun ia meninggalkanya karena malasm.
Abu hanifah : "ia tidak kufur,tapi ia kena tindakan preventif sampai mau shalat"
Malik dan syafi'i : "ia tidak kufur tapi ia di bunuh sebagai had"
Ahmad bin hanbal yang masyhur : "ia kufur dan di bunuh sebab di hukumi telah murtad".

Dasar hadits:
"Siapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka ia terbebas dari tanggungan Allah dan rasulnya"
وما رواه أحمد من حديث أم أيمن مرفوعا" من ترك الصلاة متعمداً برئت منه ذمة الله ورسوله" وروى الترمذي عن عبد الله بن شقيق قال: كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر إلا الصلاة.
"Sahabat rasulullah,
Mereka tidak melihat sesuatupun dari perbuatan yang seseorang meninggalkannya menjadi kafir kecuali shalat".

وقال الإمام ابن حزم : روينا عن عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - ومعاذ بن جبل ، وابن ‏مسعود ، وجماعة من الصحابة ‏‎-‎‏ رضي الله عنهم ‏‎-‎‏ وعن ابن المبارك ، وأحمد بن حنبل ، ‏وإسحاق بن راهويه رحمة الله عليهم ، وعن تمام سبعة عشر رجلاً من الصحابة ، والتابعين ‏رضي الله عنهم ، أن من ترك صلاة فرض عامداً ذاكراً حتى يخرج وقتها ، فإنه كافر ‏ومرتد ، وبهذا يقول عبد الله بن الماجشون صاحب مالك
Ibnu hazm :
"Saya ceritakan dari umar bin khatab ra. Dan mu'adz bin jabal,ibnu mas'ud dan sekumpulan dari sahabat r.anhum. dan dari ibnul mubarak,ahmad bin hanbal,ishaq bin rahawiyah dan 17 orang sahabat dan tabi'in,mereka semua berkata : "Siapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja dan ingat sampai keluar waktunya maka sesungguhnya ia itu kafir dan murtad". Demikian juga di katakan oleh abdullah bin majisyun yang bermadzhab miliki".

[Hukum meninggalkan shalat jum'at]

وروى ابن ماجه (1126) عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ ) ، وحسنه الشيخ الألباني في " صحيح ابن ماجه " Ibnu majah dari jabir bin abdullah r.a:
Rasulullah bersabda : "Siapa meninggalkan shalat jum'at  tiga kali tanpa darurat maka Allah telah mengunci hatinya" 
Di shahihkan oleh syekh Al-Albani.

قال المناوي رحمه الله : " ( طبع الله على قلبه ) أي : ختم عليه وغشاه ومنعه ألطافه ، وجعل فيه الجهل والجفاء والقسوة ، أو صير قلبه قلب منافق " انتهى من "فيض القدير" ( 6 / 133).

وقد جاء في بعض الروايات تقييد هذا الترك بالتوالي ، ففي مسند الطيالسي عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من ترك ثلاث جمع متواليات من غير عذر طبع الله على قلبه ) ، وفي حديث آخر ( من ترك الجمعة ثلاث مرات متواليات من غير ضرورة طبع الله على قلبه ) ، وصححه الشيخ الألباني في " صحيح الجامع " .
Sebagian riwayat mentaqyid "meninggalkan" dengan "berturut-turut".
Didalam musnad Ath-thayalisi dari abi hurairah ra. Rasulullah : "Siapa meninggalkan tiga jum'at tiga kali berturut-turut tanpa darurat maka Allah telah mengunci/mengeraskan hatinya/menjadikannya munafik"

Dari: islamweb.net dan islamqa.info

Sabtu, 07 Juli 2018

makna kata "wali" pada wali songo itu tak bisa di artikan secara mistis dan mitosis animisme jawa kuno

Saya ingin tahu makna sebutan wali songo.

Padahal kalimat "wali" dan "wilayah"  itu sangat populer di telinga ummat,terlebih bagi para akademis islam.

Tapi sayangnya mereka terjebak pada makna yang mistis mitosis belaka.

Kita harus gali asal dan perubahan makna kontekstual setiap kalimat dan menunjukkan diri sebagai ummat yang mengedepankan keilmuan ,rasionalitas,dan menggali sejarah dengan sedalam-dalamnya untuk mengetahui korelasi antara tekstual dan kontekstual.

Dimulai dari memeriksa makna wilayah yang telah di adopsi menjadi bahasa melayu dan indonesia,ia adalah batasan yang menjadi medan kekuasaan atau kepengurusan.

Maka dari kalimat wilayah muncullah kalimat wali yaitu orang yang memiliki kuasa untuk mengurusi wilayahnya. 

Wali songo adalah sembilan orang penda'wah di tanah jawa yang tersebar di beberapa wilayah utara jawa-tatar sunda yang menjadi tanggung jawabnya.
Mereka sering bertemu sehingga ketika mereka berhasil mengislamkan keluarga kerajaan demak bentoro,mereka di fasilitasi masjid demak oleh raden fatah untuk memusyawarahkan urusan ummat dan kenegaraan. 

Di rangkulnya dan di dukungnya islamisasi yang dilakukan mereka oleh raden fatah itu maka semakin mengenalkan kepopuleran wali songo.

Makna "wali" pun semakin extraordinary yaitu bertambah menjadi wali kerajaan di wilayah-wilayahnya.

Makna wali pada wali songo yang lebih kuat adalah wali dalam penyebaran islam yg memiliki wilayah-wilayah atau medan da'wah,bukan wali dalam konteks kebathinan. Analisa ini bukan berarti menuduh wali songo tidak mengamalkan amal-amal kebathinan.
Sebab kalau di maknai wali kebatinan maka perkara itu tak mudah apalagi langsung sembilan orang di nyatakan sebagai wali kebathinan secara bersama,lalu di keramatkan ruh dan makamnya dan di jadikan tempat beritual.
Cukup mengakui mereka sebagai penda'wah yang beraktifitas biasa dan zuhud menyendiri di kesunyian dan memiliki ilmu kanuragan tanpa mendewakanya sebagai sosok-sosok yang nguwalati ruhnya (khurafat).


Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelisdakwah yang pertama kali didirikan olehSunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).
Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan,kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama para Walisongo

Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat 9 nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

Sunan Ampel atau Raden Rahmat

Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim

Sunan Drajat atau Raden Qasim

Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq

Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin

Sunan Kalijaga atau Raden Sahid

Sunan Muria atau Raden Umar Said

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Wali dalam kepemimpinan islam:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,

أَلاَ مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئاً مِنْ مَعْصِيَةِ اللّهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللّهِ، وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَداً مِنْ طَاعَةٍ

Artinya : Ingatlah! Siapa saja yang telah diangkat atas dirinya seorang wali, lalu ia melihat wali itu melakukan sesuatu berupa kemaksiatan kepada Allah, hendaklah ia membenci wali itu karena kemaksiatannya kepada Allah, namun ia tidak boleh mencabut tangan dari ketaatan kepadanya/melakukan pemberontakan.(HR.Muslim).


Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai pejabat pemerintah untuk suatu wilayah Provinsi. Negri yang diperintah oleh negara Khilafah dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah. Setiap wilayah dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut imalah. Karena para wali adalah penguasa maka mereka harus memenuhi syarat – syarat sebagai penguasa yaitu : harus seorang laki – laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil dan memiliki kemampuan. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah. Dasar adanya jabatan Wali adalah perbuatan Rasulullah SAW karena beliau yang telah mengangkat para wali untuk berbagai negri. Rasulullah SAW mengangkat Muadz bin Jabal r.a sebagai wali diwilayah Janad, Abu Musa Al-ash’ari r.a sebagai wali diwilayah zabid dan ’Adn.

makna kata "wali" pada wali songo itu tak bisa di artikan secara mistis dan mitosis animisme jawa kuno

Saya ingin tahu makna sebutan wali songo.

Padahal kalimat "wali" dan "wilayah"  itu sangat populer di telinga ummat,terlebih bagi para akademis islam.

Tapi sayangnya mereka terjebak pada makna yang mistis mitosis belaka.

Kita harus gali asal dan perubahan makna kontekstual setiap kalimat dan menunjukkan diri sebagai ummat yang mengedepankan keilmuan ,rasionalitas,dan menggali sejarah dengan sedalam-dalamnya untuk mengetahui korelasi antara tekstual dan kontekstual.

Dimulai dari memeriksa makna wilayah yang telah di adopsi menjadi bahasa melayu dan indonesia,ia adalah batasan yang menjadi medan kekuasaan atau kepengurusan.

Maka dari kalimat wilayah muncullah kalimat wali yaitu orang yang memiliki kuasa untuk mengurusi wilayahnya. 

Wali songo adalah sembilan orang penda'wah di tanah jawa yang tersebar di beberapa wilayah utara jawa-tatar sunda yang menjadi tanggung jawabnya.
Mereka sering bertemu sehingga ketika mereka berhasil mengislamkan keluarga kerajaan demak bentoro,mereka di fasilitasi masjid demak oleh raden fatah untuk memusyawarahkan urusan ummat dan kenegaraan. 

Di rangkulnya dan di dukungnya islamisasi yang dilakukan mereka oleh raden fatah itu maka semakin mengenalkan kepopuleran wali songo.

Makna "wali" pun semakin extraordinary yaitu bertambah menjadi wali kerajaan di wilayah-wilayahnya.

Makna wali pada wali songo yang lebih kuat adalah wali dalam penyebaran islam yg memiliki wilayah-wilayah atau medan da'wah,bukan wali dalam konteks kebathinan. Analisa ini bukan berarti menuduh wali songo tidak mengamalkan amal-amal kebathinan.
Sebab kalau di maknai wali kebatinan maka perkara itu tak mudah apalagi langsung sembilan orang di nyatakan sebagai wali kebathinan secara bersama,lalu di keramatkan ruh dan makamnya dan di jadikan tempat beritual.
Cukup mengakui mereka sebagai penda'wah yang beraktifitas biasa dan zuhud menyendiri di kesunyian dan memiliki ilmu kanuragan tanpa mendewakanya sebagai sosok-sosok yang nguwalati ruhnya (khurafat).

Rabu, 04 Juli 2018

melihat Allah di dunia,mungkinkah ? dari artikel yang di muat di situs NU

http://www.nu.or.id/post/read/80975/melihat-allah-di-dunia-mungkinkah
Kehidupan surga merupakan suatu harapan yang didamba-dambakan oleh setiap manusia. Bayang-bayang kenikmatan surga banyak digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai balasan bagi siapa saja yang iman dan patuh kepada-Nya. Namun, ada sebagian kecil manusia yang cinta dan patuh kepada-Nya tidak lagi mendambakan surga, melainkan suatu nikmat yang lebih besar dari itu, yaitu “melihat Allah” (ru’yatullah). 

Salah satunya adalah Rabi’ah al-Adawiyah (W 135 H), seorang wanita yang terkenal taat dalam beribadah, dalam syairnya ia berkata : 

أُحِبُّكَ حُبَّينِ حُبَّ الهوَى ... وَحُبًّا لأنَّكَ أَهْلٌ ِلذاكا  
 فأمَّا الذى هُو حُبُّ الهوى ... فَشُغْلِى بذكرِك عَمَّنْ سِواكا  
 وأما الذى أنْتَ أهْلٌ لَهُ ... فَكَشْفُكَ لى الحُجْبَ حتَّى أَراكا 
فَلا اْلحَمْدُ في ذا ولا ذاكَ لِى ... ولَكِنْ لَكَ الحَمْدُ فِي ذَا وذاكا 

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena rindu dan cinta karena diri-Mu 
Cinta karena rindu adalah kesibukanku yang senantiasa mengingati-Mu 
Dan cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu menyingkap tabir hingga kulihat-Mu. 
(Pujianku) ini-itu, bukanlah untukku, melainkan semua pujian tersanjung untuk-Mu 

Bait ketiga dari syair di atas, Rabiah Al-Adawiyah mengungkapkan cintanya kepada Allah SWT karena (kelak) ia akan melihat Allah, dan cinta seperti inilah yang paling tinggi derajatnya di antara kedua cinta di atas, tegas Imam Al-Ghazali. Lalu pertanyaannya apakah orang mukmin dapat melihat Allah, baik di dunia maupun akhirat? 

Ru’yatullah (melihat Allah) di Dunia 

Menurut Qadli Iyadh (w. 544H) melihat Allah di dunia adalah sesuatu yang jaiz menurut akal. Menurutnya hal ini tidak ada dalil syara’ secara pasti yang melarang akan hal ini, selain itu Allah adalah dzat yang wujud dan setiap yang wujud hukumnya jawaz dilihat (Al-Qadli ‘Iyadh, 2013: 249-250). Ia berargumen berdasarkan permintaan Nabi Musa AS kepada Allah agar ia bisa melihat-Nya, seperti dalam QS, Al-A’raf 143:

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. 

Merupakan suatu yang muhal bagi nabi apabila ia tidak tahu tentang sesuatu yang jaiz atau tidak bagi Allah. Oleh karena itu, permintaan Nabi Musa (melihat) kepada Allah adalah termasuk sesuatu yang ja’z bagi Allah dan bukan hal yang mustahil. Akan tetapi, permintaan Nabi Musa tersebut merupakan suatu permintaan yang gaib dan tiada yang mampu mngetahuinya melainkan bagi orang yang benar-benar telah diberi pengetahuan oleh-Nya. Maka Allah pun berkata kepada Nabi Musa (لن تراني) bahwa kamu tidak akan mampu (kuat) melihat-Ku. Lalu Allah mencontohkan sebuah gunung yang lebih kuat daripada Nabi Musa (dan gunung tersebut pun hancur). 

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-laqqoni dalam nadzam Jauharatu Al-Tauhid : 


وَمِنْهُ اَنْ يُنظَرَ بِاْلاَبْصار  #  لَكِنْ بِلَا كَيْفٍ ولا انْحِصار 
للمؤمنين اِذْ بجائزْ علّقت # هذا ولِلمُخْتار دُنْيًا ثبتَتْ 

Termasuk jaiz aqli adalah melihat Allah melalui mata kepala bagi orang mukmin, akan tetapi hal itu tanpa kaifiyah dan tanpa batas ata. Hal ini (melihat Allah di dunia) berlaku bagi orang terpilih (Rasulullah).  

Mengenai nadzam di atas, Syekh Ibrahim Al-Baiuri menjelaskan bahwa melihat Allah baik di dunia maupun di akhirat termasuk sesuatu yang jaiz aqli, karena Allah adalah dzat yangmaujud dan setiap yang maujud sah untuk dilihat, maka Allah sah untuk dilihat. Namun di dunia hanya berlaku bagi Rasulullah SAW saja. (Al-Bajuri, tt: 71). Selanjutnya mengenai khususiyah Rasulullah melihat Allah dengan kedua mata, dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan para ulama:  

Pertama, menguatkan pendapat yang menafikan ru’yah bil ‘ain bagi Rasulullah di dunia  

Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya, seperti berikut ini : 


وَأَمَّا " الرُّؤْيَةُ " فَاَلَّذِي ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ : " رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ بِفُؤَادِهِ مَرَّتَيْنِ " وَعَائِشَةُ أَنْكَرَتْ الرُّؤْيَةَ . فَمِنْ النَّاسِ مَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَالَ : عَائِشَةُ أَنْكَرَتْ رُؤْيَةَ الْعَيْنِ وَابْنُ عَبَّاسٍ أَثْبَتَ رُؤْيَةَ الْفُؤَادِ . وَالْأَلْفَاظُ الثَّابِتَةُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ هِيَ مُطْلَقَةٌ أَوْ مُقَيَّدَةٌ بِالْفُؤَادِ تَارَةً يَقُولُ : رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ وَتَارَةً يَقُولُ رَآهُ مُحَمَّدٌ ؛ وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ لَفْظٌ صَرِيحٌ بِأَنَّهُ رَآهُ بِعَيْنِهِ . وَكَذَلِكَ " الْإِمَامُ أَحْمَد " تَارَةً يُطْلِقُ الرُّؤْيَةَ ؛ وَتَارَةً يَقُولُ : رَآهُ بِفُؤَادِهِ ؛ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إنَّهُ سَمِعَ أَحْمَد يَقُولُ رَآهُ بِعَيْنِهِ ؛ لَكِنَّ طَائِفَةً مِنْ أَصْحَابِهِ سَمِعُوا بَعْضَ كَلَامِهِ الْمُطْلَقِ فَفَهِمُوا مِنْهُ رُؤْيَةَ الْعَيْنِ ؛ كَمَا سَمِعَ بَعْضُ النَّاسِ مُطْلَقَ كَلَامِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَفَهِمَ مِنْهُ رُؤْيَةَ الْعَيْنِ . وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يَقْتَضِي أَنَّهُ رَآهُ بِعَيْنِهِ وَلَا ثَبَتَ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَلَا فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَا يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ ؛ بَلْ النُّصُوصُ الصَّحِيحَةُ عَلَى نَفْيِهِ أَدَلُّ ؛ كَمَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ { عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : سَأَلْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ رَأَيْت رَبَّك ؟ فَقَالَ : نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ } 

Ibarat di atas dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah menafikan ru’yah bil ain bagi Rasulullah (di dunia) dengan dasar: 

- Keterangan yang sahih dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “Rasulullah SAW, telah melihat tuhannya dua kali dengan hatinya”. Sedangkan Aisyah menafikan adanya ru’yah. Sehingga kedua keterangan tersebut jika dijam’u (dikompromikan) adalah “Aisyah mengingkari adanya ru’yah dengan mata, sedangkan Ibnu Abbas menetapkan adanyaru’yah dengan hati.” 

- Keterangan-keterangan dari Ibnu Abbas tidak ada satu pun redaksi yang sharih yang menunjukkan bahwa Rasulullah pernah melihat Allah dengan mata kepala, melainkan redaksinya bersifat mutlaq ( رأى محمد ربه) atau ada yang di-qayyidi dengan kata bi fu’adihi(dengan hatinya). Begitu pula keterangan yang diambil dari Imam Ahmad. 

Dengan demikian, menurut Ibnu Taimiyah, tidak ada dalil yang menuntut adanya ru’yah bil ainbagi Rasulullah (di dunia), baik Al-kitab Al-sunnah, maupun keterangan dari sahabat. Namun justru yang ada adalah adanya hadis sahih yang menafikan hal itu, seperti hadis yang diriwayatkan dari Abi Dzar;  

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ « نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ ». 

Dari Abi Dzar berkata, aku bertanya Rasulullah, apakah engkau pernah melihat Tuhanmu? Rasulullah menjawab “Cahaya, bagaimana aku bisa melihat-Nya.” 

Kedua, menguatkan pendapat yang menetapkan adanya ru’yah bil ain bagi Rasulullah di dunia 

Di antara yang berpendapat tentang hal ini adalah Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim-nya, setelah  ia memaparkan penjelasan Al-Qadli ‘Iyadh dan Sahibu At-Tahrir tentangru’yah, bahwa pendapat yang kuat menurut mayoritas ulama, ia berkata;
  
فَالْحَاصِل أَنَّ الرَّاجِح عِنْد أَكْثَر الْعُلَمَاء : أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ بِعَيْنَيْ رَأْسه لَيْلَة الْإِسْرَاء لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس وَغَيْره مِمَّا تَقَدَّمَ . وَإِثْبَات هَذَا لَا يَأْخُذُونَهُ إِلَّا بِالسَّمَاعِ مِنْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا مِمَّا لَا يَنْبَغِي أَنْ يُتَشَكَّك فِيهِ 

Kesimpulannya: bahwa pendapat yang kuat menurut mayoritas ulama adalah sesungguhnya Rasulullah SAW, melihat Tuhannya dengan dua mata kepala pada malam Isra’ berdasarkan hadis Ibnu Abbas dan lainya seperti yang telah disampaikan. Dan mereka (mayoritas ulama)dalam menetapkan hal ini tiada lain kecuali berdasarkan (keterangan) yang didengar dari Rasulullah SAW, ini merupakan hal yang tidak pantas untuk diragukan. 

Selain Imam An-Nawawi, Ibnu Abbas (menurut keterangan yang mashur darinya), Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan sebagainya juga menetapkan ru’yah bil ain bagi Rasulullah (di dunia) seperti diutarakan oleh Al-Qurtubi dalam  Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, Vol VII, hlm 52, sebagai berikut :
وعن ابن عباس أنه رآه بعينه، هذا هو المشهور عنه. وحجته قوله تعالى:" ما كَذَبَ الْفُؤادُ ما رَأى ". وقال عبد الله بن الحارث: أجتمع ابن عباس وأبي بن كعب، فقال ابن عباس: أما نحن بنو هاشم فنقول إن محمدا رأى ربه مرتين. ثم قال ابن عباس: أتعجبون أن الخلة تكون لإبراهيم والكلام لموسى، والرؤية لمحمد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وعليهم أجمعين. قال: فكبر كعب حتى جاوبته الجبال، ثم قال: إن الله قسم رؤيته وكلامه بين محمد وموسى عليهما السلام، فكلم موسى ورآه محمد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وحكى عبد الرزاق أن الحسن كان يحلف بالله لقد رأى محمد ربه. وحكاه أبو عمر الطلمنكي عن عكرمة، وحكاه بعض المتكلمين عن ابن مسعود، والأول عنه أشهر. وحكى ابن إسحاق أن مروان سأل أبا هريرة: هل رأى محمد ربه؟ فقال نعم وحكى النقاش عن أحمد بن حنبل أنه قال: أنا أقول بحديث ابن عباس: بعينه رآه رآه! حتى انقطع نفسه، يعني نفس أحمد. وإلى هذا ذهب الشيخ أبو الحسن الأشعري وجماعة من أصحابه (أن «3» محمدا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) رأى الله ببصره وعيني رأسه 

Keterangan dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah SAW melihat Tuhannya dengan kedua matanya, ini merupakan keterangan yang masyhur darinya, ia berhujjah dengan fiman Allah QS, Al-Najm 11, 

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.’’ 

Abdullah bin Harist berkata; telah berkumpul Ibnu Abbas dan Ubay bin ka’ab, kemudian Ibnu Abbas berkata: adapun kami Bani Hasyim berkata sesungguhnya Muhammad Saw telah melihat Tuhannya dua kali, lalu Ibnu Abbas berkata lagi: tidakkah kalian kagum sesungguhnya (gelar) al-khalil bagi Nabi Ibrahim, dan al-kalim bagi Nabi Musa sedangkan melihat Allah diperoleh Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Kharist berkata: maka bertakbirlah Ka’ab, lalu ia berkata; sesungguhnya Allah telah membagi ru’yah dan kalam-Nya antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS, Allah berbicara kepada Nabi Musa AS dan memperlihatkan Nabi Muhammad SAW kepada-Nya. 

Abdul Rozaq telah bercerita sesungguhnya Al-Hasan telah bersumpah atas nama Allah sesungguhnya Muhammad telah melihat Tuhannya. Dan Abu Umar Al-Tholamankiy telah meriwayatkannya dari Ikrimah, dan sebagian mutakallimin meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud, sedangkan riwayat pertama lebih mashur. 

Ibnu Ishaq telah meriwayatkan sesungguhnya Marwan bertanya kepada Abu Hurairah “Apakah Muhammad telah melihat tuhannya?” Abu hurairah menjawab “ya”. 

An-Naqqosyi telah meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya ia berkata; aku berkata berdasarkan hadisnya Ibnu Abbas “dengan matanya ia (Muhammad) telah melihat Tuhannya” sampai-sampai napas-napas (Imam Ahmad) terputus (ketika mengatakannya). 

Dan sesuai pendapat inilah pendapatnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari beserta sekelompok sahabatnya sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah melihat Allah dengan penglihatan melalui kedua mata kepalanya. 

Namun, bagi yang menetapkan adanya ru’yah, menurut Said Faudah, bukan berarti Rasulullah mengetahui hakikat Allah, akan tetapi bertambahnya idrak (memahami dan mengenal) kepada Allah pada diri Rasulullah, dan idrak ini pun tidak sampai pada batas ihathah (meliputi) terhadap kesempurnaan Allah SWT (Said Faudah, tt: 632). Di samping itu ihktilaf di antara para sahabat hanya terhadap “terjadinya ru’yahpada diri Rasulullah di dunia” bukan mengenai ke “jawaz”an ru’yah di dunia, karena tidak ada keterangan sahih yang menjelaskan adanyaikhtilaf di antara sahabat mengenai “kejawazan” ru’yah di dunia, tegas Said Faudah. 

Ketiga, tawaqquf di antara keduanya 

Di antara ulama yang menguatkan hal ini, menurut Ibnu Hajar adalah Imam Al-Qurtubi di dalam kitabnya Al-Mufham karena menurutnya tidak ada dalil pasti yang menjelaskan masalah ini, di samping itu, masalah ini  adalah masalah “keyakinan” maka dibutuhkan adanya dalil qat’i(Ibnu Hajar, Vol VIII : 608). (Khifni Nasif, Sekretaris Aswaja Center GP Ansor Kudus, Pengajar di Madrasah Diniyah Darul Ulum Ngembalrejo Kudus)

info salamtime

SIAPAKAH AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH ?

Benarkah AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH itu asy'ariyyah?  Saya akan jawab persoalan yang terus menipu orang online maupun orang offline...