Eramuslim

Rabu, 26 Juli 2017

Terbongkar skenario polisi untuk membubarn Hizbut tahrir (HTI)

Jakarta| Media Oposisi-Pada Senin (17/07) rangkaian analisis di meja redaksi Media Oposisi menemui titik terang. Dan kali ini memang benar. Tito Karnavian dalam dialog dengan Wakil Ketua Komisi 3 DPR Fraksi Demokrat Beny K Harman:  "UU sudah ada, kok bikin lagi perppu? Saya nggak tahu siapa yang beri masukan ke Presiden. Poin saya adalah, Pak Kapolri, mengapa Bapak tidak berani menindak ini? Malah ada yang sudah ke mana-mana, yang ingin mengganti Pancasila, tapi nggak dihukum juga," ujar Benny di gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/7/2017)(detik.com). Kapolri mengaku sulit membubarkan HTI dengan alasan:
"Mereka harus menimbulkan kerusuhan yang melibatkan korban, jiwa, atau benda, baru bisa diproses dengan Pasal 107b. Persoalannya, mereka cukup smart, tidak menimbulkan kerusuhan. Di Surabaya dicoba, saat itu ribut dengan kelompok Banser, demikian juga pembubaran di Kalosi, Makassar,
Hal ini Tito sampaikan setelah UU yang ada tidak bisa menjaring HTI
"Tito menjelaskan pihaknya tidak mungkin menindak ormas jika hanya memakai UU Nomor 27/1999 tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Sebab, dalam Pasal 107b UU Nomor 27/1999, polisi dapat menindak ormas anti-Pancasila jika terbukti ada kerusuhan yang ditimbulkan ormas." (detik.com 17/07) 
Secara teori, untuk mencipta sebuah legalitas pembubaran secara cepat harus tercipta terlebih dahulu situasi kegentingan, dan kegentingan yang hadir itu salah satunya dipacu dengan konflik horizontal. Namun sayangnya, organisasi HTI yang muncul di Indonesia lebih dari 20-an tahun itu sama sekali tidak menggunakan metode kekerasan dalam aktivitasnya, bahkan menurutnya HTI tidak akan pernah membuat sayap organisasi semi militer sampai kapanpun.
Inilah yang membuat Perppu no.2 tentang Ormas dibentuk. Dengan segala alasan yang sulit dicerna mereka membuat makar terhadap Gerakan Islam.
Kembali soal Banser, dalam sejarah peradaban perpolitikan, selalu ada 3 komponen disetiap peristiwa politik yang menyangkut pendominasian; Pelaku, Alat, dan Korban.
Dan sejatinya Banser hanyalah alat yang dipakai. Sungguh terkutuklah sang pelaku yang membenturkan gerakan Islam. Secara tak sadar pihak aparat telah keceplosan bahwa mereka sengaja memancing-mancing agar HTI berbuat kerusuhan dengan memakai Banser. Tito mengakui di Surabaya sudah dicoba, tapi HTI mengalah. Demikian pula dipancing lagi di Makassar, lagi-lagi HTI smart tidak terpancing berbuat kerusuhan. Karena tak kunjung berhasil, akhirnya pakai jalan pintas, mendesak Presiden keluarkan Perppu Ormas, begitulah skenarionya.[Mo]

Minggu, 16 Juli 2017

Dalil wajibnya mempertahankan imamah/khilafah dan menyerukanya .

NU paling pintar ngeles.
Pendapat ulama atau ibarat saja bagi mereka itu merupakan dalil malahan NU paling suka berdalih dengan ibarot karena NU punya doktrin wajib ikut pendapat ulama bahaya berpendapatan sendiri karena setan sedang disamping telinga.

NU paling suka berdalil dengan qawa'idul fiqhiyyah karena qawa'idul fiqhiyyah itu terlahir dari dalil nushusul qur'an wal-hadits untk menetapkan hukum-hukum perkara umum yang dapat diqiyaskan dengan nushus atau dimaklumi terlarangnya atau kebolehannya. 

Tentang pertanyaan NU yang mengejek seruan RUJU' ILAL-KHILAFAH adakah dalil qur'anya ?????
Tanda tanya lebih dari lima sebenarnya.

Mari kita ambil ayat lalu kita gotak-gatukkan dengan cara istidlal yang diakui oleh NU.
Khilafah juga disebut IMAMAH adalah kepemimpinan uzhma ummat islam dunia dengan model negara khilafah yaitu negara yang seluruh wilayah ummat islam berada dibawah kendali sang IMAM AKBAR,wilayah - wilayah yang terpisah oleh jarak tanah,suku,bangsa itu kepemimpinanya diserahkan kepada para WALI (gubernur/walikota) yang punya keterikatan dan saling bertanggung jawab dengan Imarah pusat yang dipimpin oleh IMAM AKBAR secara politik hukum ekonomi sosial pendidikan dst. 

Tujuan IMAMAH ini antara lainnya adalah agar Islam dan muslimin kuat,hukum-hukum islam dijalankan,da'wah dan syi'ar tersebar,ummat islam didalam negri maupun diluar negara khilafah dapat tertolong dan terjamin haq-haqnya, perjanjian damai dengan ummat diluar islam baik didalam negara maupun diluar negara dilaksanakan dengan kewibawaan.
Semua itu dapat terlaksana apabila islam ini besar dan bersatu dengan kewibawaan,persatuan islam dan hukuman dan segala kebijakan itu benar-benar terwujud kalau IMAMAH itu wujud,maka untuk mempertahankannya dan melaksanakannya adalah wajib.
Ulama sepakat dengan qa'idah fiqhiyyah 
مالايتم الواجب الا به فهو واجب
"Sesuatu hal yang tidak bisa menyempurnakan kewajiban kecuali dengan sesuatu itu maka ia adalah wajib".
Atau bisa dengan qa'idah 
للوسائل حكم المقاصد 
"perantara itu dihukum seperti tujuannya".
Itu tadi dilalahnya qa'idah yang merupakan sari perasan dari Al-Qur'an dan Al-Hadits .
Wajib dipertahankan jika khilafah itu berdiri,dan wajib dida'wahkan jika khilafah/imamah dihancurkan

Adapun sunnah rasulullah terbesar yang menjadi dalil adalah rasulullah menyatukan kaum muhajirin dan anshar serta suku-suku muslimin,memberlakukan jizyah bagi kafir dzimmi dan memberlakukan perdamaian (mu'ahad) dengan IMAMAHnya,baik muslimin juga kafirin makkah madinah mereka wajib tunduk dibawah kepemimpinannya dengan diberikan haq-haqnya baik dikala
Susah maupun senangnya negara,diharamkan oleh rasulullah perbuatan yang memecah-belah kesatuan islam yang terpimpin.
Sabda rasulullah :
من أتاكم وأمركم جميع على واحد يريد أن يفرق جماعتكم فاقتلوه.
 "Siapa yang mendatangimu padahal keseluruhan urusanmu berada pada seseorang (Khalifah / imam) yang dia hendak memecah-belah jama'ahmu (provokatif) maka bunuhlah dia (perangi atau tangkap sesuai kondisinya lalu dijatuhi sanksi mati)".
Begitulah tegasnya rasul demi utuhnya sebuah jama'atul muslimin dan IMAMAHnya.

.خيار الأئمة وشرارهم:

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: «خِيَارُ أَئِمّتِكُمُ الّذِينَ تُحِبّونَهُمْ وَيُحِبّونَكُمْ، وَيُصَلّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمّتِكُمُ الّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلعَنُونَهُمْ وَيَلعَنُونَكُمْ» قِيلَ: يَا رَسُولَ الله أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسّيْفِ؟ فَقَالَ: «لاَ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصّلاَةَ، وَإذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئاً تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ، وَلاَ تَنْزِعُوا يَداً مِنْ طَاعَةٍ». أخرجه مسلم.

.بطانة الإمام وأهل مشورته:

عَنْ أبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ، وَلا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ، إِلا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، فَالمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَ اللهُ تَعَالَى». أخرجه البخاري.
diantara hadits sahih inilah yang melahirkan qa'idah fiqhiyyah tersebut diatasلعل الص 
 وقال  سبحانه : ياأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم فإن تنازعتم فى شيئ فردوه إلى الله والرسول
 Ayat diatas adalah perintah berarti wajib dilaksanakan oleh seluruh mukmin untuk tunduk dibawah agama Allah,syari'at rasulullah dan ijtihad pemerintah (ulil amri yang ta'at Allah),dilanjutkannua perintah untuk mengembalikan perselisihan kepada Allah adalah menunjukkan bahwa pemerintah dan ummat yang berselisih maka mereka sedang ragu untuk itu keyaqinanya diserahkan kepada Allah.

Konteks dan Implementasi tunduk pada ulil amri pada ayat ini yaitu dikembalikan pada hujjah sunnah rasulullah karena beliau sendiri adalah dalil sebagai Imam negara dan rakyatnya dalam bentuk imamah/Khilafah yang menjalankan mau'izhah Allah. Tujuan tunduk pada ulil amri agar perselisihan itu bisa diredam sehingga perpecahan tidak terjadi dan jama'atul muslimin dibawah amirnya tetap terjaga.
Itu konteks ulil amri yang asli/autentik karena perpecahan dalam kepemimpinan dan negara itu dimurkai oleh rasulullah dan oleh Allah "ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعدما جاءهم البينات".

Seruan untuk kembali kepada bentuk negara khilafah atau imamah ini tidak bisa di hapuskan dengan argumentasi relevansi zaman atau argumentasi kecurigaan akan munculnya kejahatan atas nama islam,tidak sekali kali karena seruan ini bagian dari da'wah ilal-haq !!
justru muslim yang diteror agar jauh dari ide dan taktiknya,muslimin dirusak dengan gaya hidup kaum kafir baik kafir barat maupun kafir timur,muslim terus di intimidasi,da'wah kepada ummat agar mengamalkan syari'at ibadah juga muamalat kehidupan di awasi dan dibatasi agar tidak membahas politik agama,imamah yang merupakan bagian dari system islam diperangi,muslimin dipaksa hidup dengan ideologi demokrasi atau komunis bukan dengan cara millah islam.
Adapun jika kita temukan kekeliruan didalamya (imamah) maka tidak beretika mengkelirukan kebenarannya.
Sepertimana tradisi wajib kenduri 100hari/setahun/dst untuk mendo'akan arwah,NU tidak terima jika tahlil dan membaca yasin itu di persalahkan karena dzikir dan baca qur'an pada dasarnya adalah ibadat namun pada akhirnya NU menerima kritikan yang dialamatkan pada tradisi taklif atau tuntutan do'a arwah pada hari-hari tersebut ditambah lagi kondisi warganya yang memaksakan diri diluar kemampuan mengadakan kenduri arwah tersebut dengan alasan malu dan dipermalukan jikalau meninggalkanya, (NU bersikukuh mempertahankan do'a bersama untuk arwah tetapi mengajak untuk tidak memaksakan kenduri bagi warganya dengan cara meminta hutang atau keberatan),ziarah qubur itu sunnah karena sunnah maka NU geram menghadapi pengkritik tetapi NU sadar kebiasaan ziarah kubur untuk mencari pesugihan dan terjerumus kepada kemusyrikan adalah terlarang (ziarah dilestarikan tapi kekeliruanya saja yang ditinggalkan),begitu ANALOGInya.

Tinggal anda menjadi bagian yang menyudutkan menghardik mengkerdilkan secara total atau mendukungnya atau tawqif(no comment).
لله الصواب 

"Nur salam"

Minggu, 09 Juli 2017

Mengimani Allah istiwa di 'Arsy itu wajib dan bukan tajsim atau tasybih

Sebenarnya menyebut Allah di atas ('arsy/langit) itu bukn tajsim tapi mempersilahkn Allah berkehendak atas sifat uluw dan af'alNya.
Yg memunculkn tajsim itu ayat kursi.

pihak yg membawa bawa asy'ari jangan memancing perkoro.
saya belum tau lagi pendapat al-asy'ari akan ta'wil istiwa Allah ini. 

Ketika semua kebesaran Allah ditunjukkan keatas maka Allah itu diatas bukan dibawah kaki.
Falsafah adalah ilmu kasab akal-akalan maka dimanakah posisi bumi yg kita pijak dan dimanakah posisi langit yang kata bang rhoma sebagai atap ?
Seluruh galaksi berada dibawah langit karenanya Allah dan para rasul dan diikuti para selebritis berulang-ulang menyebut Allah di langit/di atas 'arsy.
Ga pake nanya dzatnya segala yg penanya sendiri memaksa mengarahkan pada tajsim.
Suka tanya istawa 'alal 'arsy adalah perbuatan bid'ah
السؤال عنه بدعة

Allah bersama azalinya dan Allah berulang kali disebutkan kalau ahli jannah akan melihatNya. (Jangan tanya kaifiyahnya)
MATI dulu sajalah biar puass.
، قال ابن عباس: هو (الكرسي) موضع قدميه، قدم الرب عز وجل.
Bukan ibn taimiyyah atau wahabi yg tajsim atau tasybih tapi ada beberapa rawi hadits/atsar.

Namun sebaiknya kita kembali membuka pelajaran balaghah tentang ilmu tasybih didalamnya.
Tasybih itu terpenuhinya :
-musyabbah (yang diserupakan)
-musyabbah bihi (objek yang diserupakan dengan musyabbah atau kata lain yang menyerupai)
-wajhusy syibhi (sifat/karakter serupa)
-adat tasybih (kalimat tasybih) seumpama ك pada والقمر قدرناه منازل حتى عاد كالعرجون القديم.
مثل pada إن مثل عيسى عند الله كمثل ءادم خلقه من تراب ثم قال له كن فيكون.

Pada pembahasan Allah istiwa diatas(langit/'Arsy) ini wajib di imani tanpa mempertanyakan kaifnya dan tanpa bermaksud menyerupakan Allah dengan makhluq karena mengimani tanpa menyertakan objek-objek tasybih.
Dan yang pasti ayat ini adalah bagian ayat mutasyabihat yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia karenanya mempertanyakanya adalah sikap yang tercela sebagimana firman Allah pada surat Ali imran ayat 6 :
هو الذى أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات،فأما الذين فى قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله،وما يعلم تأويله إلا الله،والراسخون فى العلم يقولون أمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولوا اﻷلباب.
"Dia (Allah) yang telah menurunkan atasmu Al-Kitab yang sebagian ayatnya muhkamat yaitu pokok dan sebagian lainya ayat mutasyabihat, siapa yang didalam hatinya cenderung sesat maka ia lebih mengikuti ayat isytibah itu dengan tujuan membuat fitnah dan membuat ta'wil,padahal tidak ada yang tahu ta'wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang pintar, berkata "kami beriman dengan Al-Kitab,semuanya berasal dari tuhan kami". dan tiadalah yang menerima peringatan kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya".

لعل الصواب
Allah a'lam

"Nur s"

Sabtu, 08 Juli 2017

Sebab gesekan ummat dalam furu'iyyah dan larangan ekstrimnya.

Gonjang-ganjingnya ummat islam itu karena semakin derasnya arus kebebasan,saya termasuk orang yg setuju dengan era keterbukaan ini.

Al-Qur'an dan Al-Hadits sendiri yang mengakibatkan gesekan karena ayat yang berkarakter mujmal dan mutasyabihat,umum dan multitafsir,dengan dimulainya para ahli ushul,ahli kalam falsafah,ahli sastra,ahli gramatika yang berlainan sudut pandang.
Ini keniscayaan.

Untuk meredam agar tidak sampai kepada pertikaian yang lebih extreem maka di dalam ilmu-ilmu ushul dan kalam itu telah di NYATAKAN bahwa seluruh hasil interpretasi/ijtihad/tafsir manusia adalah praduga saja yang disebut ILMU KASAB atau ILMU NAZHARI.
bebas berpendapat inilah yang melapangkan kesempitan yang dulu pernah terjadi yang di sertai dengan mitos-mitosnya.
wajib tunduk biar ga kuwalat,wajib taqlid,talfiq merusak atau membatalkan ibadah dan muamalah karenanya ia haram dilakukan,tribalisme atau rasisme sucikan keturunan nabi apakah bani israel atau dzurriyyah muhammad,dsb.
HENTIKANLAH !!

Selasa, 04 Juli 2017

Sah,fasad dan Batal

Al-Wa'ie
Ash-Shihhah (absah), al-buthlân (batil) dan al-fasâd (fasad) merupakan istilah dalam ushul fikih. Ketiganya termasuk hukum al-wadh’i, yakni merupakan hukum atas hukum.
Ash-Shihhah
Ash-Shihhah merupakan bentuk mashdar darishahha–yashihhu–shahh[an] wa shihhat[an].Secara bahasa artinya benar, tepat atau sehat. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutkan, ash-shihhah secara bahasa adalah lawan dari as-saqam yaitu al-mardh (sakit). Jadi ash-shihhah bisa diartikan secara bahasa adalah sehat.
Secara istilah ushul fikih, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III menyatakan ash-shihhahadalah muwâfaqah amri asy-syâri’ (sesuai ketentuan Asy-Syâri’). Secara faktual, suatu perbuatan dikatakan absah jika memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya. Wahbah az-Zuhaili dalam Ushûl al-Fiqhî al-Islâmimenyatakan, ash-shahîh adalah perbuatan mukallaf yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya berdasarkan tatacara yang dituntut dan memberikan implikasi secara syar’i.
Istilah ash-shihhah (absah), ketika disebutkan, bermakna adanya dampak perbuatan itu baik di dunia maupun di akhirat (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, I/291-292). Dampak perbuatan itu di dunia adalah bahwa perbuatan yang sah itumujzi’ah (mendapat imbalan), mubri‘ah li adz-dzimmah (membebaskan tanggungan) danmusqith li al-qadhâ’ (menggugurkan keharusan meng-qadhâ’ perbuatan). Jika dikatakan shalat sah artinya shalat itumuzji’ah, terbebas dari tanggungan untuk melaksanakan shalat dan tidak ada keharusan meng-qadhâ’-nya. Zakat sah bermakna terbebas dari tanggungan untuk membayar zakat dan tidak ada keharusan membayarnya lagi.
Makna dampak perbuatan di dunia ini lebih kelihatan pada muamalah. Jual-beli, jika memenuhi rukun dan syaratnya, secara syar’imenghasilkan kepemilikan serta kebolehan memanfaatkan dan hak melakukan tasharrufpada barang yang dimiliki. Ijârah disyariatkan untuk hak mendapatkan manfaat untuk penyewa atau majikan dan hak mendapat sewa untuk yang menyewakan atau upah untuk pekerja. Begitu juga hak istimtâ’ dalam akad nikah.
Adapun terkait dampak perbuatan di akhirat, shalat sah, misalnya, bermakna bahwa shalat itu diharapkan menghasilkan pahala di akhirat. Begitu pula dalam hal zakat, puasa, haji dan seluruh perbuatan ibadah lainnya. Dampak di akhirat itu juga ada dalam muamalah atau akad. Dikatakan jual-beli sah. Ini bermakna bahwa niat terikat dengan ketentuan Asy-Syâri’ dan maksud yang dituju sesuai tuntutan perintah dan larangan sehingga akan membuahkan pahala. Jadi terhadap perbuatan ini dengan niat dan maksud ini bisa diharapkan mendapat pahala di akhirat berdasarkan keterikatan pada hukum Allah SWT itu. Begitu pula dalam hal ijarah, nikah, wadhî’ahrahn, utang-piutang, dan semua muamalah yakni akad dantasharruf lainnya.
Hanya saja dampak perbuatan di akhirat itu pembahasannya lebih diperhatikan dalam hal ibadah. Pembahasan itu kurang diperhatikan dalam muamalah, hukum-hukum akhlak dan begitu pula dalam hal ‘uqûbât. Ini yang terjadi pada galibnya. Oleh karena itu, pembahasanash-shihhah (absah) lebih berputar pada dampak perbuatan di dunia, dari sisi perbuatan yang sah itu mujzi’ah dan membebaskan dari tanggungan. Hanya saja pada selain ibadah, yang dimaksud denganash-shihhah bahwa itu adalah halal, dan yang dimaksud dengan batil bahwa itu haram. Ash-Shihhah dalam muamalah berarti halalnya memanfaatkan dan al-buthlân (batil) berarti haram, artinya haramnya pemanfaatan. Atas keharaman itu berakibat pada sanksi di dunia dan di akhirat. Karena itu siapa saja yang memiliki harta dengan akad yang batil, harta itu adalah haram, dan pelakunya layak mendapat sanksi di akhirat.
Al-Buthlân
Al-Buthlân secara bahasa daribathalayabthulubathl[an] wa buthlân[an]; artinya batal atau sia-sia. Adapun secara istilah, al-buthlân (al-bâthil) adalah lawan dariash-shihhah (ash-shahîh), yakni lawan dari absah. Karena itu bâthil bermakna: ‘adamu muwâfaqah amri asy-syâri’ (tidak sesuai ketentuan Asy-Syâri’). Maksudnya, tidak terwujudnya hasil dari perbuatan itu di dunia, yakni tidak mendatangkan balasan (ghayru mujzi`in), tidak membebaskan dari tanggungan (ghayr mubri`i li adz-dzimmah) dan tidak menggugurkan qadhâ’ (ghayr musqithin li al-qadhâ’) serta mendatangkan sanksi di akhirat.
Shalat yang batil (batal) adalah yakni tidak memenuhi rukun atau syarat-syaratnya sehingga tidak membebaskan dari tanggungan dan tidak menggugurkan qadhâ’. Artinya, orang itu belum bebas dari tuntutan untuk melaksanakan shalat dan dia harus meng-qadhâ’-nya jika telah lewat. Jika ia tidak menunaikan atau tidak meng-qadhâ’-nya maka ia berdosa. Begitu pula puasa, zakat dan sebagainya.
Al-Bâthil terjadi karena dilarang secara asalnya atau terjadi kekosongan pada asal, asas atau substansinya. Dalam hal akad, al-bâthil itu jika larangan terjadi pada akadnya sendiri atau jika terjadi kekosongan (cacat) pada rukun atau syarat sahnya. Contoh: pernikahan dengan wanita yang haram dinikahi adalah batil sebab pernikahan itu dilarang; jual-beli ikan yang masih di dalam kolam adalah batil karena dilarang sejak asalnya dan itu merupakan jual-beli yangmajhûl (jual-beli gharar, tidak jelas) pada asal/pokoknya, yaitu pada barang yang dijual.
Dalam suatu pernikahan yang batil tidak ada hak istimtâ’, tidak ada yang namanya suami atau istri sehingga hubungan keduanya adalah haram dan layak mendapat sanksi di akhirat. Dalam jual-beli batil tidak terjadi pertukaran pemilikan, tidak ada kebolehan memanfaatkan dan tidak ada hak men-tasharruf. Dengan kata lain, jual-beli yang batil mengakibatkan keharaman pemanfaatan (tasharruf) atas barang. Karena itu pemanfaatan dan tasharruf terhadap barang itu mendatangkan sanksi di akhirat.
Al-Fasâd
Al-Fasâd berbeda dengan al-bâthil. Batil itu tidak sesuai ketentuan Asy-Syâri’ dari sisi asal (pokok)-nya, yakni asalnya dilarang seperti jual-beli gharar; atau syarat yang tidak terpenuhi menyebabkan cacat pada asalnya. Adapun fasâd pada asal (pokok)-nya sesuai ketentuan Asy-Syâri’, tetapi sifatnya yang tidak menyebabkan cacat pada asal (pokok) menyalahi ketentuan Asy-Syâri’. Hal pokok dalam akad adalah rukun beserta syarat-syarat dari rukun itu, dan syarat-syarat sah akad. Jadi jika hal itu tidak terpenuhi maka batil. Jika yang tidak sesuai diluar rukun beserta syarat-syarat rukun itu dan bukan syarat sahnya maka menjadi fâsid.
Fasâd tidak tergambar ada pada ibadah. Sebab jika ditelaah rukun dan syarat-syarat dalam ibadah, bisa didapati bahwa semuanya berkaitan dengan asal atau pokok. Fasâd itu mungkin ada dalam muamalah. Fasâd bisa terjadi pada akad-akad yang memunculkan komitmen timbal-balik atau pertukaran kepemilikan seperti jual-beli, ijârahhawâlah,syirkah, dan sebagainya.
Sebagian ulama memasukkan fasad bisa terjadi pada akad pernikahan. Hal itu bukan dari sisi terakadkan atau tidaknya pernikahan, tetapi dari sisi diperoleh atau ditetapkan ada atau tidaknya implikasi dari akad pernikahan. Hanya bedanya, jika akad nikah itu batil maka tidak terjadi sama sekali dan jika ingin melanjutkan harus mengulang akad nikah, misalnya karena tidak ada dua orang saksi. Adapun jika fasad, maka belum terakadkan dalam arti tidak boleh dilanjutkan dan semua implikasinya belum didapat. Namun, jika sebab fasad itu dihilangkan maka akadnya sah, sempurna dan semua implikasinya ada, tidak perlu mengulangi akad. Misalnya, jika pernikahan tanpa ijin atau persetujuan lebih dulu dari mempelai wanita. Jika ia rela atau setuju maka akad nikah itu sah dan sempurna.
Contoh akad fasad, jual-beli orang kota dengan orang kampung adalah fâsid karena orang kampung tidak tahu harga dan situasi pasar. Namun, jika ia sampai di pasar dan tahu harga atau situasi pasar, jika ia menerima atau rela melanjutkan jual-beli itu, maka jual-belinya menjadi sah dan tidak perlu diulang akadnya; atau ia berhak membatalkan jual-beli itu.
Contoh lain, akad syirkah tetapi tidak ada yang menjadi pengelola yang dinyatakan dalam akad syirkah. Contoh: syirkah musâhamah(PT) dan koperasi. Keduanya merupakansyirkah yang batil, sebab cacat pada asal akad. Berbeda jika syirkah dengan harta (modal)-nya yang jelas jumlahnya tetapi belum jelas yang mana hartanya, makasyirkah itu fâsid. Jika harta itu dijelaskan yang mana maka syirkah itu sah dan sempurna. Begitu pula jika syirkah dengan pembagian laba berdasar jumlah atau angka bukan menurut nisbah dari keuntungan, makasyirkah itu fâsid. Jika disepakati pembagian laba menurut nisbah (prosentase) dari laba maka syirkah itu menjadi sah dan sempurna.
Contoh lain: jika mahar dalam akad nikah belum jelas atau ujrah dalam akad ijârahbelum jelas, maka akad tersebut fâsid. Jika maharnya atau ujrah-nya disepakati secara jelas maka akadnya menjadi sah dan sempurna. Adapun jika tidak tercapai kesepakatan maka diberlakukan ketentuan mahar al-mitsli atau ajru al-mitsli.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb wa ahkam.[Yoyok Rudianto]

Istiwa Allah diatas Arsy itu haqiqat bukan majaz

السؤال : 
نرى في القرآن العديد من الآيات التي تصف الله بأنه سبحانه فوق عرشه ؛ كما في سورة الملك ، وطه ، بالإضافة إلى سؤال النبي صلى الله عليه وسلم للجارية أين الله ، هل الله فوق العرش حقيقة أم مجازاً؟ سبب سؤالي هو وجود العديد من تراجم معاني القرآن المختلفة ، فهل يوجد أي حديث أو تفسير لابن عباس (رضي الله عنهما) حبر القرآن يمكن منه معرفة إن كان ذلك من باب المجاز أم لا ؟
تم النشر بتاريخ: 2014-12-29
الجواب :
الحمد لله
أولا :
أثبت الله تعالى لنفسه صفة " الاستواء على العرش " في أكثر من موضع من القرآن ، فقال تعالى : ( الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ) طه/ 5 ، وقال تعالى : ( ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ ) الأعراف/ 54 ، يونس/ 3 ، الرعد/ 2 ، الفرقان/ 59 ، السجدة/ 4 ، الحديد/ 4 .
فالاستواء صفة فعلية للرب تعالى ، أثبتها له أهل السنَّة والجماعة ، على الوجه اللائق به عز وجل ، من غير تحريف لمعناها ، كما يقول من يقول : إن معناه : "الاستيلاء" ! ، ولا تمثيل لها باستواء المخلوق ، فإن الله جل جلاله لا يشبهه أحد في ذاته ، ولا يشبهه أحد في صفاته .
قال شيخ الإسلام ابن تيمية – رحمه الله - :
" أصل الاستواء على العرش : ثابت بالكتاب والسنة واتفاق سلف الأمة وأئمة السنة ، بل هو ثابت في كل كتاب أنزل ، على كل نبي أرسل " .
انتهى من " مجموع الفتاوى " ( 2 / 188 ) . 
ويقول الإمام محمد ابن إسحاق بن خزيمة رحمه الله : " فنحن نؤمن بخبر الله جل وعلا : أن خالقنا مستو على عرشه ؛ لا نبدل كلام الله ، ولا نقول قولا غير الذى قيل لنا ؛ كما قالت المعطلة الجهمية : إنه استولى على عرشه ، لا استوى ؛ فبدلوا قولا غير الذى قيل لهم ، كفِعْل اليهود : لما أمروا أن يقولوا : حِطَّة ، فقالوا : حنطة ؛ مخالفين لأمر الله جل وعلا ، كذلك الجهمية" انتهى من "التوحيد" (1/233) . 
ويقول الإمام أبو الحسن علي بن مهدي الطبري ، وهو من شيوخ الأشاعرة الأولين : (ت: 380هـ) : 
" ومما يدل على أن الاستواء ـ ههنا ـ ليس بالاستيلاء : أنه لو كان كذلك ، لم يكن ينبغي أن يخص العرش بالاستيلاء عليه دون سائر خلقه ، إذ هو مستول على العرش على سائر خلقه ، وليس للعرش مزية على ما وصفته " .
انتهى من "تأويل الآيات المشكلة" لابن مهدي (178) .
فنؤمن بأن الله تعالى قد استوى على العرش ، استواء حقيقيا يليق بجلاله سبحانه، ليس كاستواء البشر ، ولكن كيفية الاستواء مجهولة بالنسبة لنا ؛ ولذا ، فإننا نفوض كيفيته إلى الله ، كما قال الإمام مالك وغيره لما سئل عن الاستواء : "الاستواء معلوم، والكيف مجهول" ، انظر: "مجموع الفتاوى" لشيخ الإسلام ابن تيمية (3/25) .
قال الإمام الدارمي رحمه الله ، تعليقا على قول الإمام مالك السابق : 
" وصدق مالك ؛ لا يُعقَل منه كيف ، ولا يُجهل منه الاستواء ، والقرآن ينطق ببعض ذلك في غير آية " انتهى من " الرد على الجهمية " (ص/105) .
وقال الإمام يحي بن عبد العزيز الكناني ، رحمه الله : 
" أما قولك : كيف استوى ؛ فإن الله لا يجري عليه : (كيف) ؛ وقد أخبرنا أنه استوى على العرش ، ولم يخبرنا كيف استوى ؛ فوجب على المؤمنين أن يصدقوا ربهم باستوائه على العرش ، وحرُم عليهم أن يصفوا كيف استوى ؛ لأنه لم يخبرهم كيف ذلك ، ولم تره العيون في الدنيا فتصفه بما رأت ، وحرم عليهم أن يقولوا عليه من حيث لا يعلمون ؛ فآمنوا بخبره عن الاستواء ، ثم ردوا علم (كيف استوى) إلى الله" انتهى ، نقله ابن تيمية في "درء تعارض العقل والنقل" (6/118) .
ثانيا :
أجمع سلف الأمة من الصحابة والتابعين وأئمة المسلمين إثبات الصفات الواردة لله تعالى في الكتاب والسنة على الحقيقة لا المجاز ، قال ابن عبد البر رحمه الله :
" أهل السنة مجمعون عَلَى الْإِقْرَارِ بِالصِّفَاتِ الْوَارِدَةِ كُلِّهَا فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِيمَانِ بِهَا وَحَمْلِهَا عَلَى الْحَقِيقَةِ لَا عَلَى الْمَجَازِ ، إِلَّا أَنَّهُمْ لَا يُكَيِّفُونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ وَلَا يَحُدُّونَ فِيهِ صِفَةً مَحْصُورَةً ، وَأَمَّا أَهْلُ الْبِدَعِ وَالْجَهْمِيَّةُ وَالْمُعْتَزِلَةُ كُلُّهَا وَالْخَوَارِجُ فَكُلُّهُمْ يُنْكِرُهَا وَلَا يَحْمِلُ شَيْئًا مِنْهَا عَلَى الْحَقِيقَةِ ، وَيَزْعُمُونَ أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِهَا مُشَبِّهٌ ، وَهُمْ عِنْدَ مَنْ أَثْبَتَهَا نَافُونَ لِلْمَعْبُودِ ، وَالْحَقُّ فِيمَا قَالَهُ الْقَائِلُونَ بِمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ وَهُمْ أَئِمَّةُ الْجَمَاعَةِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ " انتهى من " التمهيد" (7/ 145) .
وانظر جواب السؤال رقم : (151794) .
ثالثا :
روى الحاكم (3116) ، والطبراني في " المعجم الكبير" (12404) عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ : " الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ ، وَالْعَرْشُ لَا يُقْدَرُ قَدْرُهُ "
وقال الحاكم عقبه : " هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ " ووافقه الذهبي .
ورواه عبد الله بن أحمد في "السنة" (590) ولفظه : " إِنَّ الْكُرْسِيَّ الَّذِي وَسِعَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَمَوْضِعُ قَدَمَيْهِ ، وَمَا يُقَدِّرُ قَدْرَ الْعَرْشِ إِلَّا الَّذِي خَلَقَهُ " .
وقال أبو منصور الأزهري رحمه الله في "التهذيب" (10/ 33):
" الصحيحُ عَن ابْن عَبَّاس فِي الكُرْسِيّ مَا رواهُ الثَّوْريُّ وغيرهُ عَن عمارٍ الدُّهْنِي عَن مُسْلمٍ البَطِينِ عَن سعيد بن جُبَيْرٍ عَن ابْن عباسٍ أَنه قَالَ: " الكُرْسِيُّ: موضعُ القدمينِ ، وأَما العَرْشُ فإنَّهُ لَا يُقدرُ قدرهُ " وَهَذِه روايةٌ اتفقَ أَهْلُ العلمِ على صِحتها "
انتهى ، وينظر : " البداية والنهاية " لابن كثير (1/ 13) ، " الإبانة الكبرى" لابن بطة (7/ 325) .
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
" العرش هو ما استوى عليه الله تعالى ، والكرسي موضع قدميه ؛ لقول ابن عباس رضي الله عنهما: " الكرسي موضع القدمين ، والعرش لا يقدر أحد قدره " .
انتهى من" مجموع فتاوى ورسائل العثيمين " (5/ 34) .
فقول ابن عباس رضي الله عنهما في تفسير قوله تعالى : ( وسع كرسيه السموات والأرض ) : " الكرسي موضع القدمين " يدل دلالة واضحة على أن الاستواء حقيقي وليس مجازيا .
ولهذا قال الإمام عثمان بن سعيد الدارمي رحمه الله : " وهو بنفسه على العرش ، بكماله ، كما وصف " انتهى من "الرد على الجهمية" (ص/55) . 
وقال ابن القزويني رحمه الله : " ومن قال : العرش ملك ، أو الكرسي ليس بالكرسي الذي يعرف الناس : فهو مبتدع " انتهى ، نقله "قوام السنة الأصبهاني" في "الحجة" (1/249) .
وأما اختلاف ترجمات القرآن الكريم في ذلك ، فهي كاختلاف تفاسيره بالعربية ، وأولى من ذلك ؛ فإن التفسير بالعربية يختلف بحسب فهم المفسر ، وتأثره بمذهبه العقدي ، وفكره الكلامي ، ثم قدرته على التعبير عن ذلك بعبارة مطابقة لما يعتقده ، وهذا كله موجود في المترجم ، وأعقد من ذلك ، فإنه ينقل من لغة إلى لغة ، ومعلوم ما يكتنف ذلك من الصعوبات والمشكلات .

Allah istiwa diatas Arsy cukup diimani saja

أما ما جاء في السؤال من أن قول الله تعالى : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) : لم يقل أحد من العلماء المعتبرين إن المقصود هو الله تعالى ، وإنما المقصود الملائكة ، فهذا  كلام باطل كذب ، وبيان ذلك :

1. أن الإمام الطبري شيخ وإمام المفسرين (توفي 310 هـ) قد قال بأن المقصود بقوله تعالى (من في السماء) : إنه الله ، وهذا يكفي لتكذيب النفي الوارد في السؤال .
قال الإمام الطبري رحمه الله :
"قول تعالى ذِكره : (أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ) أيها الكافرون .
(أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ) يقول : فإذا الأرض تذهب بكم ، وتجيئ ، وتضطرب.
(أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ) وهو الله .
(أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا) وهو التراب فيه الحصباء الصغار" انتهى .
"تفسير الطبري" (23/513) .
وقال الحافظ ابن عبد البر رحمه الله :
"وأما قوله تعالى : (أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ) الملك/16 فمعناه : مَن على السماء ، يعني : على العرش" انتهى .
"التمهيد" (7/130) .
فهذان قولان لمفسِّر فقيه ، ومحدِّث فقيه ، وبهما يتبين بجلاء بطلان ذلك الزعم بأنه لا أحد من العلماء المعتبرين يقول بأن معنى (من في السماء) إنه الله ، ولو شئنا لسردنا عشرات النقولات عن الأئمة المعتبرين ، سلفاً ، وخلَفاً .

2. جاءت آيات أخرى في القرآن الكريم ، تؤيد ما ذكرنا في تفسير هذه الآية ، وذلك أن الله تعالى قد خسف بأهل معصيته الأرض ، أو يهددهم بأنه يخسف بهم الأرض ، وهو يؤكد أن المقصود بـ "من في السماء" الله سبحانه وتعالى ، ومن هذه الآيات :
أ. قوله تعالى عن قارون (فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ ) القصص/81 .
ب. قوله تعالى : (أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الْأَرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لا يَشْعُرُونَ) النحل/ 45 .
ج. وقوله تعالى : (وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْأِنْسَانُ كَفُوراً . أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ أَوْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِباً ثُمَّ لا تَجِدُوا لَكُمْ وَكِيلاً  . أَمْ أَمِنْتُمْ أَنْ يُعِيدَكُمْ فِيهِ تَارَةً أُخْرَى فَيُرْسِلَ عَلَيْكُمْ قَاصِفاً مِنَ الرِّيحِ فَيُغْرِقَكُمْ بِمَا كَفَرْتُمْ ثُمَّ لا تَجِدُوا لَكُمْ عَلَيْنَا بِهِ تَبِيعاً) الإسراء/ 67 – 69 .
د. وجاءت الأحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم صريحة في أن المراد بـ (من في السماء) هو الله تعالى ، ولا تحتمل غير هذا المعنى :
أ. قال صلى الله عليه وسلم : (أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِى السَّمَاءِ ، يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً) رواه البخاري (4351) ومسلم (1064) .
ب. وقوله صلى الله عليه وسلم : (ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ) رواه الترمذي (1924) ، وصححه الألباني في "صحيح الترمذي" .
وبتأمل هذه الآيات والأحاديث يتبين خطأ ما زعمه ذلك الزاعم الذي جاء كلامه في السؤال .
وكل هذا يفعلونه ، ويتجرؤون عليه ، من أجل نفي صفة العلو لله تعالى ، والله المستعان .

info salamtime

SIAPAKAH AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH ?

Benarkah AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH itu asy'ariyyah?  Saya akan jawab persoalan yang terus menipu orang online maupun orang offline...