Sikap muhammadiyah (MD) yang selalu mengalah karena untuk menjaga utuhnya persaudaraan itu tidak difahami oleh warga NU kebanyakan.
Bukan akhir-akhir ini saja yang berkaitan dengan keadaan negara dan ummat yang sedang lara.
Tetapi perihal khilafiyah ibadah,muhammadiyah lebih tampak mengalah.
Namun mengalahnya muhammadiyah itu ada kemenangan yang samar bagi orang yang kurang tampak membaca suasana.
Contohnya saja,menyikapi aksi bela islam/bela al-qur'an 411-212 akibat provokasi gubernur dki jakarta basuki tjahja purnama atau ahok yang menyebutkan kalimat "jangan mau dibohongi pakai surat al-maida ayat 51" di dalam kunjungan kerjanya di kepulauan seribu jakarta.
MD bersikap netral dengan tidak menganjurkan warganya ikut turun beraksi bersama jutaan muslim indonesia tapi juga tidak kuasa melarang warganya untuk ikut beraksi.
Walau demikian ternyata MD faham bahwa kemarahan ummat islam atas semakin ramainya penghinaan minoritas pada islam ditambah telah melencengnya institusi kepolisian dibawah pimpinan tito karnavian yang sangat tampak tidak netral,begitu pula dengan pemerintahan presiden jokowi yang membangkitkan gairah rakyat komunis dan aroma uang yang melilit kedaulatan,itu mengharuskannya peduli untuk ikut membela agamanya melalui jalur hukum dan tuntutan demi tuntutan agar ditegakkanya keadilan.
MD sangat solid dengan menerjunkan tim-tim medis lengkap dengan mobil-mobil ambulance karena rakyat sipil memang harus lebih di perhatikan dalam aksi yang bisa saja mendapatkan tekanan aparatur negara yang lebih lengkap,bringas dan kesiap siagaanya.
Selanjutnya tentang perihal ikhtilaful muslimin pada ranah prosedural ibadah meliputi cara-cara,syarat,rukun dan tentang taqlid wa talfiq di tambah perihal kulturisme yang berkembang,muhammadiyah adalah kelompok yang paling ngalah demi terciptanya kebersamaan.
MD tidak bertaqlid buta pada sebuah interpretasi seorang ulama namun md bukan anti seorang ulama itu maka terkadang pendapatnya bisa di ambil dan terkadang tidak di ambil karena harus di musyawarahkan di majlis untuk di timbang manakah pendapat dari beberapa ulama yang rajih maka itu yang di ambil sebagai sandaran,atau cukup di jamakkan,walau begitu,MD tidak serta merta menyalahkan pendapat yang di tinggalkan. Karena pada dasarnya Allah yang mengadili perkara yang di perselisihkan ummat karena samarnya bukan zhahirnya kesalahan,sebagaimana firmaNYA:
ومااختلفتم فيه من شيئ فحكمه الى الله
"Sesuatu apa yang kalian perselisihkan maka hukum pastinya kembali kepada Allah".
Karena itu walau MD tidak qunut shubuh ia rela menjadi makmum,MD tidk menghukumi bathal karena khilafiyah ini adalah bagian prasangka fiqh (ar-ra'yu azh-zhann).
Begitu juga ketika warga MD diundang tahlilan 40/100 hari kematian,yasinan malam jum'at,pembacaan barzanji,zikir jahr setelah shalat wajib,adzan jum'at 2x,kentongan,pukul bedug,dst. Mereka mau datang karena nilai ukhuwwat dan bertetangga lebih wajib di utamakan ketimbang memupuk sinisme.
Adapun MD tidak turut melestarikan tradisi islami atau islamisasi kultur itu karena beralasan tidak adanya contoh dari Asy-syari' (rasulullah). maka, andaikan MD di nilai salah karena tidk ikut melakukan tradisi atau rekayasa islami maka saya tidak menemukan dimanakah kesalahan MD karena secara outentic apa yang telah menjadi pilihan MD itu memang begitu adanya dari zaman para nabi dan shahabat,apakah nabi dan para shahabat itu pula bersalah !? Kedua karena kekhawatiranya sebuah tradisi yg hukumnya mubah itu malah menjadi sebuah keharusan (hatman) sehingga pada akhirnya akan ada pembenaran dan meremehkan aktifitas orang lain.
Yang paling prinsip bagi MD adalah setiap orang dan kelompok pasti mempunyai opsi namun bagi MD tidak perlu membathal-bathalkan ibadah pihak yang berlainan karena zhann. Hal itu berbeda dengan pengalaman saya ketika saya menjadi santri di kampung dulu yang dominate kelompok islam tradisional,mereka sangat meragukan ibadah pihak berlainan denganya sampai-sampai karena imam tidak berqunut shubuh saja mereka bersumbar tidak akan mau berjama'ah di belakangnya,imam tidak dzikir jahr di jadikan omongan di luar masjid,dst.
Lalu dimanakah kemenangan muhammadiyah !
Saya,tidak menemukan kemenangan MD di dusun di jawa karena pada umumnya kaum tradisional itu ada di sana lalu dengan alasan akulturisasi kaum NU mengakui bahwa masyarakat pedusunan itu menjadi miliknya bukan milik yang lain,padahal kalau saja saya bertanya apakah ceremoni buang sial dengan membawa sesembahan yang diperuntukkan para arwah leluhur darat maupun laut itu islamnya NU !? maka mereka akan menjawab "tidak" NU hanya melakukan pendekatan dengan cara turut masuk campur menjadi bagian dari pelestarip tradisi itu agar selanjutnya tradisi tetap dilaksanakan tetapi do'a dan niatnya dipersembahkan kepada Allah dan buang sesajenya di makan sendiri dan menyisakan buat ikan-ikan dilautan atau semut-semut daratan.
Baik,itu pilihan nu,tapi tidak semua nu proindikasi acara sesajen itu karena ternyata tradisi itu sulit di bersihkan dari cara beragamanya kaum animisme saudara seaqidah hindu dan budha,do'anya menyebut nama Allah tapi praktek dan niatnya masih beraroma syirik dengan menyanjung sanjung dayang leluhur penunggu kampung agar warga kampung/dusun itu tetap di jaga oleh demit bernama dayang itu. Tradisi ini tertolak secara syari'ah islam karena mempertuhankan makhluq yaitu manusia yang bersekutu dengan jin,juga menyerupai prilaku penyimpangan aqidah kaum jahiliyyah yang keras terlarangnya.
Kalau begitu,masyarakat pedusunan itu tidak bisa di klaim milik nu,tapi pedusunan itu masih menjadi medan da'wah bagi kelompok islam apa saja bahkan islamis independent,itu seharusnya apabila fair.
Kemenangan MD reproduksi pada masyarakat perkotaan,mulai dari pola pikir akademisi,kemajuan tarjih secara fiqih banyak di ikuti orang kota yang berkarakter bebas berpendapat atau mengikuti pendapat mana saja dengan mengambil yang dia sukai asal pendapat-pendapat itu sama mu'tabar,maka kita bisa menyaksikan masjid-masjid di perkotaan itu sebagianya beraroma kontribusi MD,seperti tiada kentong dan bedug,tanpa pujian dengan pengeras suara setelah adzan,tarawihnya 11 raka'at,kultum ramadhan,khatib jum'at terjadwal bergiliran.
Namun karena masjid-masjid di komplek perumahan itu bukan milik md maka dikembalikan kepada masyarakat sehingga ummat muslim perumahan tidak perlu memandang organisasi dan faham keagamaan,namun rata-rata yang sanggup menjadi imam sewaan di masjid-masjid itu dominan alumni nu maka sudah pasti cara beragama nu juga menjadi bagian di dalamnya. Setidaknya,md punya kontribusi menertibkan muslimun kota walau cuma menghilangkan kentongan bedug dan pujian keras yg mengganggu dan makruh menurut hukum syari'at islam. Dan itu tidak bisa di kembalikan oleh warga nahdliyyin.
Kemenangan besar md adalah menjauhkan muslimin perkotaan dari praktek-praktek animisme.
Selanjutnya,muhammadiyah mempunyai beberapa lembaga diantaranya adalah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan bertarap nasional sampai internasional yang terbuka untuk umum,siapa saja yang masuk di universitas milik MD tidak lantas ia di akui sebagai warga MD. Tidak main klaim Itu bagian sifat MD yang melayani dan mentolerir.
Saya menyaksikan,sebuah ma'had yang berdiri ditanah MD itu membuka kesempatan bagi warga muslim yang ingin berkuliah disitu di gratiskan dari biaya-biaya,juga tidak ada syarat utama kekelompokan,malah banyak warga NU yang mengambil kesempatan. Begitu lagi MD tidak lantas mengakui para mahasiswa di ma'hadnya itu sebagai warga muhammadiyah.
Itulah amanah da'wah.
Hebatnya kaum muwahhidin indonesia itu:
Disana ada Muhammadiyah ia berkeyaqinan bhwa kalangan musyrik billah tidak akn tenang dengan sendirinya mereka akn saling bertentangan karena secara dasar islam yg di yaqininya adalh mengharamkan segala rupa kemusyrikan.
Biarlah mereka ribut sendiri tentang madzhab fiqihnya dan aqidahnya yang ruwet kusut,akan mengalami ekspansi pertaubatan besar2an pada diri warganya.
sementara Muhammadiyah terus berkonsentrasi bekerja berbenah dan yaqin bahwa pilihanya itu lebih nyaman dan menenangkan.
Banyak yang terpuaskan dan tertarik pada pelayananya dan intelektualitasnya.
Dalam menggadapi akulturasi, MD yang saya perhatikn itu tidak mengharamkn amaliyah adat hanya menjaga kehati-hatian.
Muhammadiyah tidak pernah melanjutkan tradisi tribalisme dan tidak mengajak agar menyembah demokrasi walau antara kedua kultur ini saling bertentangan,namun karena keduanya berdiri diatas pondasi masing2.
Maka Islam tetap menjadi tujuan awal dan akhir karena islam adalah tauhid dan tauhid adalah ciri karakter lahir sampai matinya Muhammadiyah,berdiri dibawah pengawasan Allah ta'ala.
Islam menjadi moderator sekaligus hakim bagi prilaku penyimpangan antara tribalisme/ashabiyyah dan demokrasi,bukan islam yang malah di hakimi.
Setidaknya,MD menurut analysa saya adalah gerakan islam moderat yang murni dan terorganisir.
Itu Analisa ringan.
Bukan akhir-akhir ini saja yang berkaitan dengan keadaan negara dan ummat yang sedang lara.
Tetapi perihal khilafiyah ibadah,muhammadiyah lebih tampak mengalah.
Namun mengalahnya muhammadiyah itu ada kemenangan yang samar bagi orang yang kurang tampak membaca suasana.
Contohnya saja,menyikapi aksi bela islam/bela al-qur'an 411-212 akibat provokasi gubernur dki jakarta basuki tjahja purnama atau ahok yang menyebutkan kalimat "jangan mau dibohongi pakai surat al-maida ayat 51" di dalam kunjungan kerjanya di kepulauan seribu jakarta.
MD bersikap netral dengan tidak menganjurkan warganya ikut turun beraksi bersama jutaan muslim indonesia tapi juga tidak kuasa melarang warganya untuk ikut beraksi.
Walau demikian ternyata MD faham bahwa kemarahan ummat islam atas semakin ramainya penghinaan minoritas pada islam ditambah telah melencengnya institusi kepolisian dibawah pimpinan tito karnavian yang sangat tampak tidak netral,begitu pula dengan pemerintahan presiden jokowi yang membangkitkan gairah rakyat komunis dan aroma uang yang melilit kedaulatan,itu mengharuskannya peduli untuk ikut membela agamanya melalui jalur hukum dan tuntutan demi tuntutan agar ditegakkanya keadilan.
MD sangat solid dengan menerjunkan tim-tim medis lengkap dengan mobil-mobil ambulance karena rakyat sipil memang harus lebih di perhatikan dalam aksi yang bisa saja mendapatkan tekanan aparatur negara yang lebih lengkap,bringas dan kesiap siagaanya.
Selanjutnya tentang perihal ikhtilaful muslimin pada ranah prosedural ibadah meliputi cara-cara,syarat,rukun dan tentang taqlid wa talfiq di tambah perihal kulturisme yang berkembang,muhammadiyah adalah kelompok yang paling ngalah demi terciptanya kebersamaan.
MD tidak bertaqlid buta pada sebuah interpretasi seorang ulama namun md bukan anti seorang ulama itu maka terkadang pendapatnya bisa di ambil dan terkadang tidak di ambil karena harus di musyawarahkan di majlis untuk di timbang manakah pendapat dari beberapa ulama yang rajih maka itu yang di ambil sebagai sandaran,atau cukup di jamakkan,walau begitu,MD tidak serta merta menyalahkan pendapat yang di tinggalkan. Karena pada dasarnya Allah yang mengadili perkara yang di perselisihkan ummat karena samarnya bukan zhahirnya kesalahan,sebagaimana firmaNYA:
ومااختلفتم فيه من شيئ فحكمه الى الله
"Sesuatu apa yang kalian perselisihkan maka hukum pastinya kembali kepada Allah".
Karena itu walau MD tidak qunut shubuh ia rela menjadi makmum,MD tidk menghukumi bathal karena khilafiyah ini adalah bagian prasangka fiqh (ar-ra'yu azh-zhann).
Begitu juga ketika warga MD diundang tahlilan 40/100 hari kematian,yasinan malam jum'at,pembacaan barzanji,zikir jahr setelah shalat wajib,adzan jum'at 2x,kentongan,pukul bedug,dst. Mereka mau datang karena nilai ukhuwwat dan bertetangga lebih wajib di utamakan ketimbang memupuk sinisme.
Adapun MD tidak turut melestarikan tradisi islami atau islamisasi kultur itu karena beralasan tidak adanya contoh dari Asy-syari' (rasulullah). maka, andaikan MD di nilai salah karena tidk ikut melakukan tradisi atau rekayasa islami maka saya tidak menemukan dimanakah kesalahan MD karena secara outentic apa yang telah menjadi pilihan MD itu memang begitu adanya dari zaman para nabi dan shahabat,apakah nabi dan para shahabat itu pula bersalah !? Kedua karena kekhawatiranya sebuah tradisi yg hukumnya mubah itu malah menjadi sebuah keharusan (hatman) sehingga pada akhirnya akan ada pembenaran dan meremehkan aktifitas orang lain.
Yang paling prinsip bagi MD adalah setiap orang dan kelompok pasti mempunyai opsi namun bagi MD tidak perlu membathal-bathalkan ibadah pihak yang berlainan karena zhann. Hal itu berbeda dengan pengalaman saya ketika saya menjadi santri di kampung dulu yang dominate kelompok islam tradisional,mereka sangat meragukan ibadah pihak berlainan denganya sampai-sampai karena imam tidak berqunut shubuh saja mereka bersumbar tidak akan mau berjama'ah di belakangnya,imam tidak dzikir jahr di jadikan omongan di luar masjid,dst.
Lalu dimanakah kemenangan muhammadiyah !
Saya,tidak menemukan kemenangan MD di dusun di jawa karena pada umumnya kaum tradisional itu ada di sana lalu dengan alasan akulturisasi kaum NU mengakui bahwa masyarakat pedusunan itu menjadi miliknya bukan milik yang lain,padahal kalau saja saya bertanya apakah ceremoni buang sial dengan membawa sesembahan yang diperuntukkan para arwah leluhur darat maupun laut itu islamnya NU !? maka mereka akan menjawab "tidak" NU hanya melakukan pendekatan dengan cara turut masuk campur menjadi bagian dari pelestarip tradisi itu agar selanjutnya tradisi tetap dilaksanakan tetapi do'a dan niatnya dipersembahkan kepada Allah dan buang sesajenya di makan sendiri dan menyisakan buat ikan-ikan dilautan atau semut-semut daratan.
Baik,itu pilihan nu,tapi tidak semua nu proindikasi acara sesajen itu karena ternyata tradisi itu sulit di bersihkan dari cara beragamanya kaum animisme saudara seaqidah hindu dan budha,do'anya menyebut nama Allah tapi praktek dan niatnya masih beraroma syirik dengan menyanjung sanjung dayang leluhur penunggu kampung agar warga kampung/dusun itu tetap di jaga oleh demit bernama dayang itu. Tradisi ini tertolak secara syari'ah islam karena mempertuhankan makhluq yaitu manusia yang bersekutu dengan jin,juga menyerupai prilaku penyimpangan aqidah kaum jahiliyyah yang keras terlarangnya.
Kalau begitu,masyarakat pedusunan itu tidak bisa di klaim milik nu,tapi pedusunan itu masih menjadi medan da'wah bagi kelompok islam apa saja bahkan islamis independent,itu seharusnya apabila fair.
Kemenangan MD reproduksi pada masyarakat perkotaan,mulai dari pola pikir akademisi,kemajuan tarjih secara fiqih banyak di ikuti orang kota yang berkarakter bebas berpendapat atau mengikuti pendapat mana saja dengan mengambil yang dia sukai asal pendapat-pendapat itu sama mu'tabar,maka kita bisa menyaksikan masjid-masjid di perkotaan itu sebagianya beraroma kontribusi MD,seperti tiada kentong dan bedug,tanpa pujian dengan pengeras suara setelah adzan,tarawihnya 11 raka'at,kultum ramadhan,khatib jum'at terjadwal bergiliran.
Namun karena masjid-masjid di komplek perumahan itu bukan milik md maka dikembalikan kepada masyarakat sehingga ummat muslim perumahan tidak perlu memandang organisasi dan faham keagamaan,namun rata-rata yang sanggup menjadi imam sewaan di masjid-masjid itu dominan alumni nu maka sudah pasti cara beragama nu juga menjadi bagian di dalamnya. Setidaknya,md punya kontribusi menertibkan muslimun kota walau cuma menghilangkan kentongan bedug dan pujian keras yg mengganggu dan makruh menurut hukum syari'at islam. Dan itu tidak bisa di kembalikan oleh warga nahdliyyin.
Kemenangan besar md adalah menjauhkan muslimin perkotaan dari praktek-praktek animisme.
Selanjutnya,muhammadiyah mempunyai beberapa lembaga diantaranya adalah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan bertarap nasional sampai internasional yang terbuka untuk umum,siapa saja yang masuk di universitas milik MD tidak lantas ia di akui sebagai warga MD. Tidak main klaim Itu bagian sifat MD yang melayani dan mentolerir.
Saya menyaksikan,sebuah ma'had yang berdiri ditanah MD itu membuka kesempatan bagi warga muslim yang ingin berkuliah disitu di gratiskan dari biaya-biaya,juga tidak ada syarat utama kekelompokan,malah banyak warga NU yang mengambil kesempatan. Begitu lagi MD tidak lantas mengakui para mahasiswa di ma'hadnya itu sebagai warga muhammadiyah.
Itulah amanah da'wah.
Hebatnya kaum muwahhidin indonesia itu:
Disana ada Muhammadiyah ia berkeyaqinan bhwa kalangan musyrik billah tidak akn tenang dengan sendirinya mereka akn saling bertentangan karena secara dasar islam yg di yaqininya adalh mengharamkan segala rupa kemusyrikan.
Biarlah mereka ribut sendiri tentang madzhab fiqihnya dan aqidahnya yang ruwet kusut,akan mengalami ekspansi pertaubatan besar2an pada diri warganya.
sementara Muhammadiyah terus berkonsentrasi bekerja berbenah dan yaqin bahwa pilihanya itu lebih nyaman dan menenangkan.
Banyak yang terpuaskan dan tertarik pada pelayananya dan intelektualitasnya.
Dalam menggadapi akulturasi, MD yang saya perhatikn itu tidak mengharamkn amaliyah adat hanya menjaga kehati-hatian.
Muhammadiyah tidak pernah melanjutkan tradisi tribalisme dan tidak mengajak agar menyembah demokrasi walau antara kedua kultur ini saling bertentangan,namun karena keduanya berdiri diatas pondasi masing2.
Maka Islam tetap menjadi tujuan awal dan akhir karena islam adalah tauhid dan tauhid adalah ciri karakter lahir sampai matinya Muhammadiyah,berdiri dibawah pengawasan Allah ta'ala.
Islam menjadi moderator sekaligus hakim bagi prilaku penyimpangan antara tribalisme/ashabiyyah dan demokrasi,bukan islam yang malah di hakimi.
Setidaknya,MD menurut analysa saya adalah gerakan islam moderat yang murni dan terorganisir.
Itu Analisa ringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar