Eramuslim

Selasa, 01 Agustus 2017

Boleh menggambar fisik nabi (nahdliyin rusak aqidah)

Copas dari artikel yang di muat di website nu.

ROLAND GUNAWAN
Memaknai Maulid Nabi SAW
Ketika masih di Kairo, suatu saat saya diundang menghadiri
pesta Ulang Tahun Kelahiran seorang teman yang ke-20 di
Daerah Jami’, di samping Masjid Syarbini. Karena bertepatan
dengan malam Jum’at, seperti biasa kami membaca surat
Yasin bersama. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan doa
yang dipimpin oleh saudara misan teman saya itu.
Sebenarnya, acara ketika itu bukan semata-mata perayaan
Ulang Tahun Kelahiran, tetapi juga dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad saw., sekaligus
berdoa atas meninggalnya ayah salah seorang teman kami
yang ada di Indonesia.
Setelah doa bersama selesai, kemudian dilanjutkan dengan
“ceramah”—kalau boleh dibilang demikian. Semula saya
mengira “ceramah” itu akan disampaikan oleh saudara misan
teman saya itu, sebab menurut saya, dia lebih alim dan
nampak lebih bijak. Hal itu terbukti ketika memimpin doa, dia
nampak lebih khusyu’, lebih memahami dan menghayati doa
yang dibacakannya. Tetapi ternyata dugaan saya meleset,
teman saya itu malah menyuruh saya. Terus terang saya
agak sedikit terkejut, sebab sebelumnya tidak ada
pemberitahuan. Tetapi karena merasa tidak enak, dan karena
melihat selama ini dia telah banyak berbuat baik terhadap
saya, akhirnya saya pun mau juga.
Dalam “ceramah” itu saya mencoba menghubung-hubungkan
antara Maulid Nabi, kematian, dan Ulang Tahun Kelahiran.
Lho, kok bisa? Apa hubungannya? Memang sih tidak ada
hubungannya, tetapi dengan imajinasi, apapun—menurut Ibn
Arabi—bisa dihubungkan.
Semua manusia dilahirkan ke muka bumi, kemudian akan
dimatikan, setelah itu Tuhan akan menciptakan manusia baru
sebagai generasi selanjutnya, dan begitu seterusnya. Kita
semua dilahirkan, dan kita akan melangkah menuju kematian.
Entah kapan kematian itu akan menyapa kita. Kita barangkali
sempat berangan-angan untuk dapat hidup seribu tahun lagi,
tetapi kita juga bisa tidak melihat matahari di esok hari. Ya,
intinya semua akan mati, dan alangkah lebih baiknya jika
dalam perjalanan menuju kematian itu kita isi dengan sesuatu
yang bermakna. Memang sih sama saja, berbuat atau tidak
berbuat, semua akan mati. Orang yang berbuat jelek, orang
yang berbuat baik, semua akan mati. Orang shaleh,
pencoleng, maling dan lain sebagainya, mereka semua akan
mati. Tapi orientasi hidup kita bukan hanya untuk kita sendiri
saja, tapi juga demi generasi-generasi yang datang, lebih-
lebih sebagai tanggungjawab kita di hadapan Tuhan kelak di
akhirat. Maka mau tidak mau kita harus berkarya, agar
dengan bangga kita bisa menunjukkannya kepada generasi-
generasi setelah kita, dan agar kita bisa tenang nanti di alam
baka.
“I’malû fawq-a mâ ‘amilû” (Berbuatlah kamu melebihi apa
yang mereka—para generasi terdahulu—perbuat). Itulah kata-
kata Kiyai saya waktu masih di pondok dulu. Dan itu sesuai
dengan semangat yang terkandung dalam beberapa ayat al-
Qur`an yang memerintahkan kita untuk berbuat hal yang lebih
baik dari para generasi terdahulu. Saya percaya bahwa al-
Qur`an memang diturunkan di masa Nabi, tetapi bukan untuk
zaman itu saja, bagi kita juga masih berlaku, dan sampai
kapanpun akan tetap berlaku. Bukankah al-Qur`an itu “shâlih
li kulli zamân wa makân” (relevan untuk setiap ruang dan
waktu)?”
Rasulullah dan para sahabat beliau telah berbuat yang lebih
baik dari generasi-generasi Arab sebelumnya. Demikian juga
para tokoh klasik, mereka telah berbuat yang lebih baik dari
zaman sebelum mereka. Mereka berhasil mengembangkan
dasar-dasar yang telah dibangun pada zaman Rasulullah.
Sekarang bagaimana kita yang hidup di abad 21 ini, apakah
kita sudah melakukan hal yang lebih baik dari apa yang
dilakukan oleh para pendahulu kita? Saya kira, semua akan
mengatakan, “Belum!” Kita masih belum melakukan yang
lebih baik dari mereka. Rasulullah bersabda, “Barang siapa
yang harinya sama dengan kemarin, maka dia telah merugi,
barang siapa yang harinya lebih baik dari hari kemarin, maka
dia telah beruntung, dan barang siapa yang harinya lebih
buruk dari hari kemarin, maka dia telah celaka.” Kalau
berkaca pada hadits ini, berarti kita telah celaka, sebab hari-
hari kita menjadi lebih buruk dari sebelumnya, bukti bahwa
kita celaka adalah betapa kita sering dihina orang, ditindas
dan dijajah.
Saat ini kita merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Tetapi,
sampai sejauh ini, rasanya kok tidak ada manfaat yang kita
rasakan, seolah kita telah melakukan hal yang sia-sia.
Rasulullah bersabda, “Min husni Islâm al-mar`-i tarkuh-u mâ
lâ ya’nîh-i” (Termasuk kualitas keislaman seseorang adalah
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya).
Kalau peringatan Maulid Nabi ternyata tidak membawa
perubahan dan perkembangan apa-apa bagi kita, buat apa
kita melakukan itu, buang-buang waktu saja! Kasarnya, kita
memang lebih suka melakukan hal yang sia-sia.
Kecintaan kita kepada Nabi bukan dengan merayakan hari
kelahirannya secara rutin setiap tahun, tetapi bagaimana kita
berbuat sesuatu yang lebih baik dari zaman beliau.
Rasulullah adalah seorang guru, keberhasilan seorang guru
adalah kalau ia mampu menjadikan murid-muridnya melebihi
dirinya, bisa berbuat lebih baik dari dirinya. Kalau ada guru
yang bercita-cita ingin membuat murid-muridnya menjadi
sama dengan dirinya, berarti ia telah gagal, apalagi kalau
sampai di bawahnya. Relakah kita bila Rasulullah dianggap
sebagai guru yang gagal? Saya yakin pasti tidak ada yang
rela. Kalau tidak rela, kenapa kita masih tetap seperti ini? Kita
tidak pernah mau maju, malah balik ke belakang. Semua apa
yang ada pada zaman Rasul mau kita ambil dan kita tiru
semuanya. Kita tidak pernah berpikir bahwa kita hidup pada
zaman yang sama sekali lain dari zaman beliau. Ini namanya
kemunduran. Dan kemunduran, bagaimanapun, adalah
sesuatu yang buruk. Kenapa buruk? Sebab kita ini hidup di
suatu zaman yang mana tantangan-tantangannya lebih berat
dari zaman Nabi, sehingga memerlukan upaya-upaya baru
untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Tetapi kita
bukan malah melakukan upaya-upaya baru, kita bukan malah
maju, justru yang kita lakukan adalah mundur kebelakang,
terus ke belakang, tidak mau melihat ke depan dan
melangkah ke sana. Padahal antara zaman Rasulullah dan
zaman kita terdapat jarak yang begitu jauh sekali, setelah
zaman Rasulullah dan sebelum zaman kita saat ini terdapat
generasi-generasi lain yang hidup. Generasi-generasi itu telah
berhasil menampilkan Islam sebagai peradaban yang maju.
Sekarang tinggal kita yang melanjutkan dan
mengembangkannya.
Memperingati Maulid Nabi bukan tidak boleh, banyak ulama
yang menganjurkannya. Tetapi, adanya peringatan Maulid
Nabi jangan sampai melahirkan orang-orang yang fanatik,
orang-orang yang tertutup, orang-orang yang senatiasa
melihat zaman ini sebagai neraka yang harus dijauhi. Saya
berani mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkehendak
seperti itu. Sebab jika demikian, maka sama halnya—saya
mohon maaf kalau kurang sopan—beliau nenelan ludahnya
sendiri. Bukankah hadits yang berbunyi, “Barang siapa yang
harinya lebih baik dari kemarin, maka dia telah beruntung,”
adalah ucapan beliau yang secara tidak langsung menyuruh
kita untuk berbuat lebih baik dari apa yang beliau dan para
shahabat lakukan?
Beberapa tahun yang lalu, banyak menyebar gambar-gambar
yang menghina Nabi. Coba bayangkan, bagaimana Nabi yang
semulia itu dihina. Tetapi kalau dicermati, gambar-gambar
itu sejatinya bukanlah penghinaan terhadap pribadi Nabi atau
kepada Islam, tetapi lebih merupakan ejekan terhadap umat
Muslim—ingat! bukan Islam—yang anti kemajuan. Ketika kita
anti kemajuan, berarti kita celaka, celaka berarti mendapat
penghinaan dari orang.
Dan menurut hemat saya, pada prinsipnya setiap gambar
asalnya adalah mubah atau boleh. Menghina atau tidak, itu
soal lain. Memang ada sebuah hadits yang melarang untuk
menggambar, “Al-mushawwirûn fi al-nâr” (Orang-orang yang
menggambar tempatnya di neraka). Oleh sebagian orang
hadits ini digunakan untuk mengharamkan semua jenis
gambar. Sebab, kata “al-shûrah” dalam bahasa Arab
mempunyai makna yang banyak, bisa lukisan, photo atau
bentuk, dalam artian seperti patung atau hasil pahatan
lainnya. Akan tetapi siapakah yang dimaksud dengan “al-
mushawwirûn fi al-nâr” itu? Jelas, kalau hadits ini hanya
ditelan mentah-mentah, akibatnya akan sangat fatal sekali.
Segala jenis gambar atau lukisan yang merupakan hasil
kreasi manusia akan menjadi tidak boleh. Sebab, dengan
bukti hadits tadi, agama telah melarang.
Sebenarnya, maksud dari “al-mushawwirûn fi al-nâr” dalam
hadits di atas adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa
Tuhan mempunyai bentuk atau gambaran (al-shûrah),
walaupun dalam hati, lalu mereka menyembahnya sebagai
Tuhan yang sebenarnya. Misalkan orang-orang yang
berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti sapi betina (al-
baqarah) lalu mereka mensucikannya. Atau orang-orang
yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti matahari, lalu
mereka mengganggap matahari adalah Tuhan. Atau orang-
orang yang berkeyakinan bahwa Tuhan sama seperti bintang,
bulan, ular atau makhluk-makhluk-Nya yang lain. Membuat
gambar atau patung dengan tujuan untuk disembah, dalam
kaca mata agama, jelas hukumnya haram. Orang-orang yang
melakukan itu akan dimasukkan ke neraka. Mereka lupa
bahwa Tuhan adalah “laysa kamitslihi syay`-un”. Tetapi
kalau orang menggambar dimaksudkan untuk tujuan
keindahan sebagai kreasi seni, itu tidak apa-apa. Makanya,
hadits Nabi yang menyatakan bahwa sebuah rumah yang di
dalamnya terdapat patung tidak akan dimasuki para malaikat,
jangan dimaknai secara sederhana. Patung atau gambar
dalam sebuah rumah yang disembah sebagai Tuhan, rumah
inilah yang tidak akan dimasuki para malaikat. Jadi,
ketidakbolehan gambar atau patung itu jika dimaksudkan
untuk ibadah. Namun kalau hanya sekedar hiasan agar
rumah nampak lebih indah, agama tidak melarangnya,
bahkan akan mengundang para malaikat untuk mengunjungi
rumah tersebut. Sebab Tuhan itu indah dan menyukai
keindahan.
Untuk selanjutnya, mengenai gambar Rasulullah saw., hingga
saat ini kita belum menemukan teks yang secara tegas
melarang gambar Nabi. Motif dilarangnya gambar Nabi
adalah takut disembah oleh umat Muslim, selain itu tidak
ada. Maka, sepanjang tidak ada unsur penghinaan, kita boleh
menggambar Nabi. Katakanlah seorang pelukis, dengan
kecintaannya yang begitu mendalam kepada Nabi saw., bisa
saja ia mengambar Nabi dengan segala macam keindahan.
Makanya ada ungkapan dari seorang sufi, “Seandainya kita
menyaksikan keelokan Nabi Yusuf, maka kita akan tahu
penderitaan yang dialami oleh Nabi Ya’kub. ” Ada juga
ungkapan lain, “Seandainya Nabi Yusuf hidup pada masa
Nabi Muhammad, maka keindahan Yusuf akan redup karena
kalah oleh keindahan Nabi Muhammad.” Jadi, dengan
kecintaannya kepada Nabi, seseorang pelukis bisa melakukan
imajinasi membayangkan keindahan Nabi untuk kemudian
dituangkan dalam bentuk gambar indah, sebab kita lihat
banyak hadits yang menggambarkan diri Nabi, rambutnya,
wajahnya, tangannya, cara berjalannya, cara memandangnya
dan lain sebagainya.
Saya bisa memahami, siapapun, kalau orang yang dianggap
simbol agamanya dihina, pasti akan marah. Kita tidak
keberatan dengan gambar apapun, tetapi tentu saja gambar-
gambar yang elegan dan layak. Karena gambar adalah
bagian dari seni, dan kita bebas dalam berseni, bebas dalam
berkreasi, asalkan tidak menyinggung perasaan orang lain.
Maka adalah hal wajar jika umat Muslim marah ketika Nabi
mereka dihina. Marah dalam artian tidak merusak, sepanjang
masih dalam taraf kewajaran.
Dan kita, sebagai umat Muslim, tidak perlu terlalu risau
dengan gambar-gambar yang dikatakan menghina Nabi,
menghina Islam, biarlah Tuhan yang membelanya. Ka’bah
yang terbuat dari batu saja Tuhan mau membela, apalagi
Nabi Muhammad yang kita tahu adalah manusia. Lebih tinggi
mana derajat batu dengan manusia? Apalagi kita sendiri tidak
pernah marah ketika orang Barat menggambar Nabi Isa as.,
bukankah beliau adalah Nabi kita juga? Kita harus bersikap
adil, Tuhan saja berfirman, “La nufarriqu bayna ahad-in min
rusulihi” (Tuhan tidak membeda-bedakan para utusan-Nya).
Jika kita marah melihat gambar-gambar Nabi Muhammad,
kenapa kita tidak marah ketika melihat gambar Nabi Isa yang
dibuat oleh orang Barat, sedang kalau dilihat, Nabi Isa
patungnya telanjang bulat, sama sekali tidak pakai baju,
bahkan—maaf—celana dalam pun tidak pakai, bermata biru,
ada juga yang bermata coklat, disalib lagi, padahal al-Qur`an
jelas-jelas mengatakan bahwa Nabi Isa tidak pernah disalib.
Demi melihat gambar-gambar Nabi Muhammad, apakah
patung Nabi Isa yang dipampang di Gereja, di jalan-jalan,
atau bahkan film-film yang menafikan kesuciaannya sebagai
utusan Tuhan, bukankah ini juga salah satu bentuk
penghinaan terhadap Nabi Isa yang kita anggap sebagai Nabi
suci dalam Islam, bukankah ini juga menghina Islam?
Kalau kita melihat Rasulullah, beliau dalam menyikapi orang-
orang yang menghinanya, selalu mengedepankan akhlak yang
luhur. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa ada
seorang lelaki buta, yang istrinya senantiasa mencela dan
menjelek-jelekkan Nabi. Lelaki itu telah berusaha melarang
dan memperingatkan istrinya. Sampai pada suatu malam,
seperti biasanya istrinya itu mulai lagi mencela dan menjelek-
jelekkan Nabi. Karena mungkin sudah dianggap keterlaluan,
lelaki itu kemudian mengambil kampak dan langsung dia
tebaskan ke perut istrinya sehingga membuat istrinya mati.
Pada keesokan harinya, turun pemberitahuan dari Allah
kepada Rasulullah yang menjelaskan kejadian tersebut.
Lantas (hari itu juga) beliau mengumpulkan umat Muslim dan
bersabda, “Dengan menyebut asma Allah, aku minta orang
yang melakukannya, yang sesungguhnya tindakannya itu
adalah hakku; mohon ia berdiri.” Lelaki buta itu kemudian
berdiri dan berjalan dengan meraba-raba sampai ia turun di
hadapan Rasulullah saw.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“hakku ” dalam hadits di atas, adalah hanya hak Rasulullah
yang bisa memberi hukuman pada si pencela itu, bukan
haknya setiap Muslim.
Bahkan pernah suatu saat Rasulullah datang ke suatu daerah
untuk berdakwah, tetapi orang-orang di daerah itu malah
menolaknya, bahkan melemparinya dengan batu. Lalu
bagaimana sikap Rasul? Ternyata beliau tidak marah, malah
berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku,
sesungguhnya mereka tiada mengetahui.” Inilah sikap
Rasulullah saw., beliau senantiasa sabar dan penyantun.
Di sini, saya mengajak semuanya untuk melakukan
introspeksi diri. Tidakkah kita pernah menghina Nabi?
Bukankah kita mengatakan bahwa Nabi adalah ummîy, tidak
bisa membaca dan menulis? Bukankah ini juga termasuk
penghinaan? Bagaimana mungkin seorang Nabi semulia
Rasulullah saw. kita katakan tidak bisa membaca dan
menulis alias—maaf—buta huruf. Bukankah ini sama halnya
dengan menganggap bahwa Rasulullah bodoh?! Padahal
jelas-jelas Tuhan berfirman, “Wa ‘allamaka mâ lam takun
ta’lam” (Dan Dia telah mengajarkan kamu, wahai
Muhammad, apa yang tidak kamu ketahui). Kata “mâ” di sini
berarti “sesuatu”, Tuhan tidak menjelaskan “sesuatu” apa
yang diajarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dengan
demikian, “sesuatu” dalam ayat tersebut bersifat umum,
sesuatu apapun. Kepada Nabi Adam as. Tuhan telah
mengajarkan seluruh nama, ini terlihat dalam firman-Nya,
“Wa’allama Âdam al-asmâ`a kullaha” (Dia mengajarkan
kepada Adam semua nama). Kalau kepada Nabi Adam saja
Tuhan mengajarkan seluruh nama, maka sudah sepantasnya
kalau Nabi Muhammad saw., sebagai Nabi terakhir, diajarkan
apa-apa yang pernah diajarkan kepada para nabi
sebelumnya. Kita tahu antara Nabi Adam dan Nabi
Muhammad terdapat nabi-nabi lain. Coba bayangkan, betapa
luasnya pengetahuan Nabi Muhammad kalau begitu, apalagi
kalau hanya untuk membaca dan menulis.
Banyak orang berdalih bahwa Nabi Muhammad dikatakan
tidak membaca dan menulis, untuk menunjukkan
kemukjizatan al-Qur`an, bahwa al-Qur`an benar-benar
berasal dari Tuhan. Artinya, dengan ketidakbisaan Nabi
membaca dan menulis, al-Qur`an benar-benar terlepas dari
campur tangan beliau. Sebab, kalau Nabi bisa membaca dan
menulis, ada kemungkinan besar beliau membaca atau
mempelajari ajaran-ajaran Yahudi atau Kristen, lalu beliau
menulis sebuah kitab atau “al-Qur`an” untuk kemudian
dikatakan berasal dari Tuhan. Sehingga ada kemungkinan al-
Qur`an terpengaruh oleh tradisi agama-agama sebelumnya.
Ini saya kira alasan yang dibuat-buat. Untuk meyakinkan
bahwa al-Qur`an adalah wahyu dan mukjizat dari Tuhan,
menurut saya tidak perlu mengatakan bahwa Rasulullah tidak
bisa membaca dan menulis alias buta huruf. Terdapat kaidah
klasik yang menyatakan “al-dharar-u la yuzâlu bi al-dharar-
i” (Bahaya tidak dihilangkan dengan bahaya yang lain). Kalau
kita menolak bahaya—sebagaimana anggapan sebagian
orientalis—bahwa al-Qur`an dipengaruhi oleh tradisi agama-
agama sebelumnya, Kristen dan Yahudi, misalnya, kita tidak
boleh melawannya dengan bahaya lain, yaitu mengatakan
bahwa Nabi Muhammad saw. tidak bisa membaca dan
menulis atau buta huruf. Coba lihat, betapa kita sudah
menghina Nabi kita sendiri. Ini lebih berbahaya dari
anggapan bahwa al-Qur`an dipengaruhi oleh tradisi Kristen
dan Yahudi. Makanya jangan marah kalau ada orang
menghina Nabi, sebab ternyata kita juga menghina dengan
mengatakan Nabi buta huruf alias bodoh. Adalah wajar kalau
kemudian Nabi—yang kita anggap sebagai orang yang buta
huruf atau bodoh—dihina orang. Sudah menjadi kaidah
umum, bahwa orang bodoh akan mendapat kehinaan.
Tampaknya, kita memang perlu menafsir ulang kata “ummîy”.
Kata “al-umm” sendiri bisa berarti “al-jam’-u” atau
kumpulan. Dengan makna seperti ini, maka, Nabi yang ummîy
berarti Nabi yang jâmi’ atau sempurna, karena menguasai
ilmu-ilmu dari Tuhan (Wa’allama Âdam al-asmâ`a kullaha)
sehingga beliau kemudian menjadi mashdar al-dîn (sumber
agama). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, siapakah
yang harus saya diutamakan dalam pergaulan? Rasulullah
menjawab, “Ummuka.” “Kemudian siapa?” Lalu dijawab,
“Ummuka (ibumu).” “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab,
“Ummuka.” Saya kira tidak mungkin Rasulullah menjawab
“ummuka” sampai tiga kali dengan makna yang sama. Sekali
saja sudah cukup. Kata “ummuka” yang diucapkan sampai
tiga kali tentunya mempunyai makna yang berbeda-beda.
Yang dimaksud dengan “ummuka” yang pertama adalah Nabi
sendiri, sebab beliau adalah sumber agama. Kita mengetahui
Islam, selain dari al-Qur`an, juga dari hadits-hadits Nabi.
Kemudian “Ummuka” yang kedua maksudnya adalah para
ulama, sebab mereka adalah pewaris para Nabi. Nah, baru
“ummuka” yang ketiga maksudnya adalah ibu, karena ibu
adalah orang yang telah melahirkan kita.
Setiap kali memperingati Maulid Nabi, sudah seharusnya kita
memiliki kesadaran bahwa Nabi telah hadir kembali ke dunia
dengan membawa cahaya-cahaya baru, dan kita harus
mampu menangkap cahaya-cahaya itu untuk kemudian kita
jadikan sebagai topangan semangat guna melakukan
perubahan-perubahan, pembaharuan-pembaharuan, untuk
berkarya dan berkarya, membuka cakrawala-cakrawala baru,
yang walaupun kita tidak sempat menikmatinya karena
keterbatasan umur kita, tetapi siapa tahu bisa berguna untuk
generasi-generasi mendatang.
Sebagai penutup tulisan yang “ngelantur” ini, saya mengajak
kepada semua, dengan semangat Maulid Nabi, mari kita
songsong masa depan kita yang lebih cerah, masa yang
bukan namanya saja “depan” padahal hakikatnya adalah
“belakang”, tetapi merupakan masa yang betul-betul “depan”
yang diwarnai dengan perkembangan, kemajuan,
permbaharuan, dan yang lebih penting lagi adalah
kedamaian.
* Penulis adalah alumnus Universitas Al-Azhar. Saat ini aktif
sebagai peneliti di Yayasan Rumah KitaB, Bekasi
http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,41729-lang,id-c,kolom-t,Memaknai+Maulid+Nabi+SAW-.phpx

Tidak ada komentar:

info salamtime

SIAPAKAH AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH ?

Benarkah AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA'AH itu asy'ariyyah?  Saya akan jawab persoalan yang terus menipu orang online maupun orang offline...